Wednesday, November 19, 2014

POLA LONGITUDINAL SUNGAI SERAYU



LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN
KONDISI FISIKOKIMIA EKOSISTEM SUNGAI (POLA LONGITUDINAL SUNGAI SERAYU)



Oleh:
Aridian Laras Setyani
H1H013010


Asisten :

Muslikha




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2014


I.             PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Pola longitudinal adalah pola memanjang dari hilir ke hulu untuk mengetahuifaktor fisika kimia suatu lingkungan perairan dan mengetahui organisme yang hidupdi perairan tersebut. Pola longitudinal digunakan di suatu perairan seperti sungai.distribusi longitudinal terjadi dimana kemiringan tidak jauh berbeda dari hulu kehilir. Daerah hulu biasanya menunjukan toleransi yang besar sampai sepanjangsungai. Perubahan longitudinal yang jelas berhubungan dengan perubahan yangsangat terlihat yaitu suhu, kecepatan arus dan pH
Ekosistem adalah kumpulan dari komunitas beserta faktor biotik (tumbuhan, hewan dan manusia) dan abiotik (suhu, iklim, senyawa-senyawa organic dan anorganik). Menurut undang-undang lingkungan hidup (UULH) tahun 1982 ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan tingkat yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi hubungan antar keduanya (Irwan 1992).
1.2.       Tujuan
Praktikum ekologi perairan dalam menentukan kondisi fisikokimia
ekosistem sungai (pola longitudinal sungai Banjaran) adalah sebagai berikut :
      Mahasiswa dapat melakukan pengukuran oksigen terlarut, kecepatan arus, konduktivitas, pH, temperatur, BOD, kejernihan air, substrat dasar
      Mahasiswa dapat mengetahui faktor fisiko kimia yang mana yang menunjukkan pola longitudinal


II.          TINJAUAN PUSTAKA
2.1.       Ekosistem
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secarautuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada. Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik. Sebaliknya organisme juga mempengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup. Pengertian ini didasarkan pada hipotesis Gaia, yaitu: "organisme, khususnya mikroorganisme, bersama-sama dengan lingkungan fisik menghasilkan sutu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi cocok untuk kehidupan". Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa kandungan kimia atmosfer dan bumi sangat terkendali dan sangat berbeda dengan planet lain di tata surya(Soemarno.2010)
Ekosistem perairan dibedakan dalam tiga kategori utama yaitu ekositem air tawar, ekosistem estuarin, dan ekosistem laut. Habitat air tawar dibedakan menjadi dua kategori umum, yaitu sistem lentik (kolam, danau, situ, rawa, telaga, waduk) dan sistem lotik (sungai). Sistem lentik adalah suatu perairan yang dicirikan air yang mengenang atau tidak ada aliran air, sedangkan sistem lotik adalah suatu perairan yang dicirikan oleh adanya aliran air yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir.

2.2.       Sungai
Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang sungai .Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatas kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air adalah benda cair, yang senantiasa bergerak kearah tempat yang lebih rendah, yang dipengaruhi oleh gradien sungai dan gaya gravitasi bumi. Menurut Sandy (1985)(dalam Putra, 2013), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu, juga mengkikis bumi, sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil dan atau besar, yang disebut dengan istilah alur sungai (badan sungai). Lebih jauh dikemukakan bahwa aliran sungai di bagian luarnya dibatasi oleh bagian batuan yang keras yang disebut dengan tanggul sungai.
2.3.       Parameter Fisikokimia Perairan Sungai
2.3.1. Oksigen terlarut (DO)
Oksigen adalah salah satu unsur kimia yang sangat penting sebagai penunjang utama kehidupan berbagai organisme. Oksigen dimanfaatkan oleh organisme perairan untuk proses respirasi dan  menguraikan zat organik menjadi zat an-organik oleh mikro organisme. Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup dalam suatu perairan dan dibutuhkan oleh organisme untuk mengoksidasi zathara yang masuk ke dalam tubuhnya (Nybakken, 1988 dalam Marojahan 2007). Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobic atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga. Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya (Salmin,2005)
2.3.2.  Biological Oxygen Demand (BOD)
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (PESCOD,1973 dalam Salmin 2005 ). Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organic yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9 ppm pads suhu 20°C (SAWYER & MC CARTY, 1978 dalam Salmin 2005)
2.3.3. Temperatur
Temperatur adalah karakter fisik air laut yang sangat penting, karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi badan air laut secara umum. Temperatur, salinitas dan tekanan dapat menentukan kerapatan air laut. Sebaran temperatur pada permukaan laut dipengaruhi oleh fluks panas, penguapan, curah hujan, air sungai yang mengalir ke laut serta pembekuan dan pencairan es di laut. Fluks panas terdiri dari beberapa komponen, yaitu insolation Qsw, radiasi infra merah QLW, fluks panas sensible Qs dan fluks panas laten QL (Gambar 1). Perubahan temperatur pada permukaan laut dapat menimbulkan penurunan atau peningkatan kerapatan air pada permukaan laut. Jika air dari permukaan mengalir ke bagian laut yang lebih dalam, maka akan terjadi hubungan yang khusus antara temperatur dan salinitas yang dapat digunakan untuk identifikasi sumber dan untuk merunut gerakan air laut di bagian dalam. Sebaran kerapatan di bagian dalam laut secara langsung berkaitan dengan sebaran gradient tekanan horisontal yang dapat mempengaruhi arus laut. Gerakan laut seperti itu disebut sirkulasi thermohaline (Cahyana,2006)
2.3.4. Derajat keasaman air (pH)
Sutika (1989) (dalam Armita 2011) mengatakan bahwa derajat keasaman atau kadar ion H dalam air merupakan salah satu faktor kimia yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang hidup di suatu lingkungan perairan. Tinggi atau rendahnya nilai pH air tergantung dalam beberapa faktor yaitu : kondisi gas-gas dalam air seperti CO2, konsentrasi garam-garam karbonat dan bikarbonat, proses dekomposisi bahan organic di dasar perairan.
Derajat keasaman merupakan faktor lingkungan kimia air yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut pendapat Soesono (1988) (dalam Armita 2011) bahwa pengaruh bagi organisme sangat besar dan penting, kisaran pH yang kurang dari 6,5 akan menekan laju pertumbuhan bahkan tingkat keasamannya dapat mematikan dan tidak ada laju reproduksi sedangkan pH 6,5 – 9 merupakan kisaran optimal dalam suatu perairan.
2.3.5. Lebar Sungai
Lebar adalah jarak antara sisi yang kiri dengan sisi yang kanan. Lebar sungai sangatlah dipengaruhi oleh riparian vegetation yang menjaga terjadinya pengikisan Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk hidup di perairan yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas perairan yang melebihi atau diatas 400μs mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan stress dan akan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka hantaran listrik tinggi (Ewuise, 1990).
2.3.6. Kedalaman Sungai
Menurut Sandy (1985), kedalaman sungai sangat tergantung dari jumlah air yang tertampung pada alur sungai yang diukur dari penampang dasar sungai sampai ke permukaan air. Level rataan dasar sungai pengukurannya dirata-ratakan minimal dari tiga titik yang berbeda yaitu di bagian tengah dan kanan kirinya. Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah dan jenis hewan makrobenthos. Kedalaman air juga mempengaruhi kelimpahan dan distribusi hewan makrobenthos. Perairan dengan kedalaman air yang berbeda akan dihuni oleh makrobenthos yang berbeda pula dan terjadi stratifikasi komunitas yang berbeda. Perairan yang lebih dalam mengakibatkan makrobenthos mendapat tekanan fisiologis dan hidrostatis yang lebih besar (Reish, 1979; Zahidin (2008). Kedalaman perairan juga mempengaruhi penetrasi sinar matahari ke dalam perairan sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi kebutuhan oksigen dan pertumbuhan organisme bentik (Sukarno, 1981; Zahidin 2008). Tang dan Kasmawati (1992); Zahidin (2008), mengatakan bahwa produktivitas perairan berkurang dan mengakibatkan rendahnya kepadatan hewan makrobenthos pada perairan yang lebih dalam dikarenakan kandungan bahan-bahan organik yang lebih sedikit atau kurang melimpah. Interaksi antara kekeruhan dan kedalaman perairan akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari sehingga mempengaruhi kecerahan suatu perairan. (Putra,2013)
2.3.7. Kejernihan Air
Kecerahan perairan juga banyak dipengaruhi oleh bahan-bahan halus yang melayang dalam perairan, baik berupa bahan organik (plankton, jasad renik, detritus) maupun bahan anorganik (partikel lumpur dan pasir). Kecerahan dipengaruhi zat-zat yang terlarut dalam perairan sehingga berhubungan dengan penetrasi sinar matahari. makin tinggi kecerahan, maka intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin besar. Kecerahan perairan berlawanan dengan kekeruhan yang juga disebabkan adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut, maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikrooganisme lainnya. Akibat kekeruhan yang tinggi dapat mengganggu sistem pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penerasi cahaya ke dalam air (Putra 2013).
2.3.8. Kecepatan Arus
Kecepatan arus penting diamati sebab menurut Angelier (2003) (dalam Siahaan, 2011) merupakan faktor pembatas  kehadiran organisme didalam sungai. Kecepatan arus sungai berfluktuasi (0,09-1,40 m/detik) yang semakin melambat ke hilir. Faktor gravitasi, lebar sungai dan material yang dibawa oleh air sungai membuat kecepatan arus dihulu paling besar. 
2.3.9. Substart dasar
Forman dan Gordon (1983) (dalam Putra, 2013) menyebutkan bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering mencerminkan batuan dasar yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata, kadangkala bentuknya bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya; sering terendapkan matrial yang terbawa oleh aliran sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi oleh batuan dasarnya. Dasarsungai dari hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan tinggi (elevasi), dan pada jarak tertentu atau keseluruhan sering disebut dengan istilah “gradien sungai” yang memberikan gambaran berapa presen rataan kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai gradien berpengaruh besar terhadap laju aliran air.
2.3.10.  Konduktivitas dan Salinitas
Konduktivitas air bergantung pada jumlah ion-ion terlarut per volumenya dan mobilitas ion-ion tersebut. Satuannya adalah (μmho/cm, 250C). Konduktivitas bertambah dengan jumlah yang sama dengan bertambahnya salinitas. Secara umum, faktor yang lebih dominan dalam perubahan konduktivitas air adalah temperatur. Untuk mengukur konduktivitas digunakan konduktivitimeter.
Salinitas air sungai, di bagian hulu dan tengah hampir jarang dipengaruhi oleh salinitas, berbeda dengan di daerah hilir. Tingginya salinitas air sungai di daerah hilir, disebabkan oleh pengaruh pasang surut air laut. Namun demikian Lebeck (1939), menyatakan bahwa salinitas air baik di bagian hulu, tengah dan hilir selain dipengaruhi oleh pengaruh air laut, juga dipengaruhi oleh kandungan unsur hara yang bersifat basa. Salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme baik secara horisontal maupun secara vertikal (Odum, 1971); Zahidin (2008). Salinitas juga akan mempengaruhi penyebaran plankton, hewan makrobenthos dan organisme perairan lainnya. Penurunan salinitas dapat menentukan distribusi dari invertebrata perairan.(Putra, 2013)
2.3.11.  Skor Fisik Habitat
Skor fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan habitat sungai tertentu. Dari nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan tersebut dalam keadaan Sub optimal, optimal, marginal atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut. Untuk dapat mendeskripsikan berapa skor fisik habitat dari suatu ekosistem dapat menggunakan tabel Barbour dan Stribling tahun 1991.





III.      MATERI DAN METODE
3.1.       Materi
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah botol Winkler, pipet ukur atau jarum suntik, labu Erlenmeyer.
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel 250 ml, larutan MNSO4 1ml, larutan KOH-KI  1ml, larutan H2SO4 pekat, larutan Na2S2O3 (0,025 N), 10 tetes indikator amilum
3.2.       Metode
3.2.1. Dissolved Oxygen (DO)
Sabanyak 250 ml sampel air diambil menggunakan  botol Winkler  tanpa ada gelembung. Berturut-turut larutan MNSO4 dan KOH-KI ditambahkan  masing-masing larutan sebanyak 1 ml, biarkan sesaat sampai endapan terbentuk. Larutan H2SO4 pekat ke dalam botol lalu dikocok sampai endapan larut. Sebanyak 100 ml campuran larutan dipindahkan ke dalam labung erlenmeyer. Larutan di titrasi dengan N2S2O3 (0,025 N) sampai larutan berwarna kuning muda. Sebanyak 10 tetes indikator amilum ditambahkan hingga larutan berwarna biru. Dititrasi kembali dengan larutan Na2S2O3 (0.025 N) sampai warna biru hilang Titrasi duplo dan hasilnya dirata-rata dan dihitung dengam menggunakan rumus:
Oksigen terlarut = 1000/100 x p x q x 8
p : volume larutan Na2s2O3
q : normalitas larutan
8 : bobot setara larutan

3.2.2. Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD)(MetodeWinkler)
Pengukuran BOD menggunakan metode Winkler. Sampel air diambil menggunakan dua botol Winkler senanyak 250 ml sampai penuh. Botol Winkler pertama langsung diukur kandungan oksigennya (DOo hari), sedangkan botol kedua diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 oC. Setalah 5 hari, diperiksa kandungan oksigennya (DO5 hari). Serta dihitung menggunakan rumus :



Keterangan :
                   A0 : Oksigen terlarut sampel pada nol hari
               A5 : Oksigen terlarut sampel pada lima hari
               S0  : Oksigen terlarut blanko pada nol hari
               S5  : Oksigen terlarut blanko pada lima hari
               T   : persen perbandingan antara A0 : S0
                   P   : derajat pengenceran

3.2.3. Pengukuran Temperatur
Termometer dicelupkan ke dalam perairan, tunggu kurang lebih 5 menit sampai angka pengukuran stabil. Pengukuran dilakukan di 3 titik perairan tersebut dan di rata-ratakan data.
3.2.4. Pengukuran Derajat keasaman air (pH)
Kertas pH dicelupkan pada sampel air. Samakan perunahan warna pada kertas dengan skala warna pH yang tercantum.
3.2.5. Pengukuran Lebar Sungai
Pengukuran lebar sungai menggunakan estimasi dengan menggunakan titik-titik pengestimasian.

3.2.6. Pengukuran Kedalaman Sungai
Pengukuran kedalaman sunai menggunakan tali yang terdapat pada Keping Secchii yang dimasukan ke dalam perairan.
3.2.7. Pengukuran Kejernihan air
Keping Secchii dimasukkan ke dalam air. Kedalaman diukur sampai batas antara hitam dan putih tak dapat dibedakan. Jika sampai dasar sungai masih dapat dibedakan, makan kedalaman sampai dasar tersebut dicatat.
3.2.8. Pengukuran Kecepatan Arus
Kecepatan arus diukur dengan cara botol air mineral 600 ml diisi air dengan volume ¾ penuh dan diikat dengan tali rapia sepanjang 10 m, botol dilepaskan searah dengan arus perairan dan catat waktu sampai tali terlihat lurus.
3.2.9. Pengukuran Substart Dasar
Pengukuran substrat dasar dengan mengambil sampel substrat dasar perairan dan di stimasi dengan menggunakan tabel kategori.
3.2.10.  Pengukuran Konduktivitas dan Salinitas
Pengukuran konduktivitas menggunakan konduktivitimeter dan diukur daya hantar listrik dan salinitas perairan
3.2.11.  Pengukuran Skor Fisik Habitat
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Tabel Kriteria Penilaian Kondisi Fisik Habitat Barbour dan Staibling

Tabel 2.Kriteria Penilaian Kondisi Fisik Habitat Barbour danStribling
Habitat parameter
Optimal
SKOR: 20
Suboptimal
SKOR: 15
Marginal
SKOR: 10
Poor
SKOR: 5
Substrat dasar
Lebih dari 60% dasar perairan terdiri atas  kerikil, batu, cadas dengan porsi yang kurang lebih sama.
30-60% dari  dasar perairan berupa bebatuan atau cadas  didominasi oleh salah satu kelas ukuran tersebut.
10-30% merupakan salah satu materi yang besar tetapi lumpur atau pasir
70-90% mendominasi substrat dasar.
Substrat didominasi oleh lumpur dan pasir kerikil dan materi yang besar <10%.
Kekomplek
kan habitat
Berbagai macam tipe kayu pohon, cabang, tumbuhan akuatik, terdapat pada segmen sungai membentuk habitat yang bervariasi. Segmen sungai tertutup kanopi.
Substrat cukup bervariasi. Segmen sungai cukup terlindungi.
Habitat didominasi 1 atau 2 macam substrat, Tumbuhan tepi yang dinaungi segmen sungai sedikit.
Habitat monoton pasir dan lumpur menyebabkan habitat tidak bervariasi.
Kualitas bagian menggenang
25% dari bagian yang menggenang sama atau lebih lebar dari setengah lebar sungai, kedalaman >1m.
<5% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih ½ lebar sungai. Umumnya bagian yang dalam ini lebih kecil dari setengah sungai dan kedalamannya > 1m.

<1% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih lebar sungai bagian yang menggenang ini mungkin sangat dalam/ dangkal. Habitat tidak bervariasi.
Bagian yang menggenang  kecil dan dangkal bahkan mungkin tidak terdapat bagian yang menggenang.
Kestabilan tepi sungai
Tidak pernah ada bukti-bukti bahwa tempat tersebut pernah terjadi erosi atau berpotensi erosi.
Jarang terjadi bagian tepi yang gugur, kemungkinan gugur ada tetapi rendah.
Bagian tepi ada ynag mengalami erosi pada saat banjir.
Bagian tepi tidak stabil, sering terjadi erosi.

3.3.       Waktu dan Tempat Praktikum

Praktikum Pola Longitudinal ini dilaksanakan pada tanggal 2 November 2014 di Sungai Cowakan Semar dan Sungai Kejajar, Jawa Tengah
3.4.       Analisis Data
Analisis data praktikum yang telah didapat dengan membuat grafik menggunakan software microsoft excell, lalu dituangkan dalam pembahasan yang terperinci. 






IV.      HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.            Hasil Pengamatan Kondisi Fisikokimia Ekosistem Sungai (Pola Longitudinal)
Tabel 3. Kondisi Fisikokimia Ekosistem Sungai (Pola Longitudinal DAS)
Faktor Fisiko Kimia
Stasiun
Tempera- tur (OC)
Kecepatan Arus(M)
pH
Lebar Sungai (m)
O2

BOD
Tipe Substrat
Skor Fisik Habitat
Kedala-man (m)
Kece-ra-han
Konduktivitas
(mmhos)
Kejajar
24
0,63-0,77
7
6,5
7
2,2
Berpasir,
kerikil,
batu
65
23
8,30
97
Garung
22
0,625-0,714
7
17
5
1,9
batu
80
60
22,5
99
Prigi
27
0,303-1,66
6
32
6,4
1,3
Batu, berpasir, berlumpur
55
35,67
34
102
Singomerto
26,3
0,2985
7
50
7
2,1
Berbatu
65
50,8
50,8
116
Mrican
26
0,357
6
18
5,3
3,4
Batu dan kerikil
60
88,3
41
160
Mandiraja
28,3
0,67-1,67
7
85
6
1,9
Kerikil,batu
55
40
28,5
114
Kembangan
27,2
0,595
7
44
5,6
2,7
Berbatu
63
50,9
50,9
124
Cowakan Semar
29
0,1-0,2
7
32
5,2
2,6
Lumpur
,pasir
50
45,5
20


4.2.            Pembahasan
4.2.1. Dissolved Oxygen (DO)
Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup dalam suatu perairan dan dibutuhkan oleh organisme untuk mengoksidasi zathara yang masuk ke dalam tubuhnya (Nybakken, 1988 dalam Marojahan 2007). Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan kan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobic atau anaerobik.
Rata-rata oksigen terlarut pada  sungai yang kami praktikumkan berkisar 6,8 mg/l. Nilai oksigen terlarut yang paling tinggi adalah di Stasiun Kejajar yaitu 7 mg/ l dan  paling rendah adalah di Sungai Garung yaitu 5 mg/ l. Dilihat dari jumlahnya, oksigen (O2) adalah satu jenis gas terlarut dalam air dengan jumlah yang sangat banyak, yaitu menempati urutan kedua setelah nitrogen. Namun jika dilihat dari segi kepentingan untuk budidaya perariran, oksigen menempati urutan teratas. Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernafasannya haruslah terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat ((Ghufran dan Andi, 2007) dalam Putra, 2013).
 Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua aspek yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang bergantung pada keadaan metabolisme ikan. Ikan memerlukan oksigen guna pembakaran bahan bakarnya (makanan) untuk menghasilkan aktivitas, seperti aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi, atau sebaliknya. Tampak dengan jelas bahwa ketersediaan oksigen bagi ikan menentukan lingkaran aktivitas ikan. Konversi makanan, demikian juga laju pertumbuhan, bergantung pada oksigen, dengan ketentuan bahwa selama faktor kondisi lainnya adalah optimum. Ghufran dan Andi (2007) (dalam Putra,2013) oksigen dihasilkan melalui proses difusi dari udara yang mengandung 20,95% oksigen. Proses ini terjadi sangat cepat pada selaput permukaan air, namun berjalan sangat lambat ke lapisan yang lebih dalam. Proses difusi ini baru dapat terjadi apabila terdapat perbedaan tekanan oksigen di dalam air dan di udara.
Sumber oksigen lainnya adalah fitoplankton. Jasad hidup melalui proses fotosintesis dapat menghasilkan oksigen seperti terlihat dari persamaan reaksi berikut:
6CO2 + 6H2O klorofil dan cahaya matahari C6H12O6 + 6O2
Persamaan ini menjelaskan terjadinya reaksi antara karbondioksida dan air dengan bantuan cahaya matahari berlangsung di klorofil menghasilkan gula dan oksigen ((Ghufran dan Andi, 2007 dalam Putra, 2013) .
4.2.2. Biological Oxygen Demand (BOD)
Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam (PESCOD,1973 dalam Salmin 2005 ).
Berdasarkan data pengukungan BOD yang kami dapat bahwa sungai yang memiliki kandungan BOD paling rendah adalah Stasiun Prigi yaitu sebesar 1,3 dan sungai yang memiliki kandungan BOD paling tinggi adalah Stasiun Kembangan yaitu sebesar 2,7.

4.2.3. Temperatur
Salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme adalah temperatur (Nybakken, 1988); Zahidin (2008). Termasuk hewan makrobenthos juga dipengaruhi oleh temperatur perairan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Effendi (2003); Zahidin (2008) bahwa kisaran temperatur yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton secara umum di perairan adalah 200C – 300C. Pertumbuhan yang optimal Filum Chlorophyta akan terjadi pada kisaran temperature 300C – 350C dan untuk Diatom pada temperatur 200C – 300C. Phylum Cyanophyta dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Chlorophyta dan Diatom.
Secara umum, temperatur air sungai secara horizontal dipengaruhi oleh ketinggiantempat (elevasi). Sandy (1985), mengemukakan bahwa di daerah-daerah hulu air sungai relatif dingin, sedangkan di bagian tengah dan hilir semakin tinggi suhunya. Akan tetapi Cole (1979); Zahidin (2008), menyatakan bahwa selain pemanasan bersumber dari matahari, suhu air sungai juga sering bersumber dari batuan kapur dan atau panas bumi. Tinggi rendahnya temperatur air sungai, akan berpengaruh terhadap kehidupan (biota) perairan sungai.
Berdasarkan data yang kami peroleh temperatur yang paling tinggi terdapat di Stasiun Cowakan Semar yaitu 29 0C dan teperatur yang paling rendah terdapat di Stasiun Garung yaitu 22 0C. Menurut Barus (2002), kisaran suhu air yang baik dalam perairan dan kehidupan ikan yaitu berkisar antara 23-320C .
Air mempunyai sifat unik yang berhubungan dengan panas yang secara bersama-sama mengurangi perubahan suhu dalam air lebih kecil dan perubahan terjadi lebih lambat daripada udara. Variasi suhu dalam air tidak sebesar jika dibandingkan di udara hal ini merupakan faktor pembatas utama karena organisme akuatik sering kali mempunyai toleransi yang sempit. Perubahan suhu menyebabkan pola sirkulasi yang khas dan stratifikasi yang amat mempengaruhi kehidupan akuatik (Odum, 1993).   
Menurut Ferdiaz 1992 Kenaikan temperatur akan menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut:
a)        Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun.
b)        Kecepatan reaksi kimia meningkat.
c)        Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
d)       Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan
e)        hewan air lainnya mungkin akan mati.
4.2.4. Derajat keasaman air (pH)
Derajat keasaman merupakan faktor lingkungan kimia air yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut pendapat Soesono (1988) (dalam Armita 2011) bahwa pengaruh bagi organisme sangat besar dan penting, kisaran pH yang kurang dari 6,5 akan menekan laju pertumbuhan bahkan tingkat keasamannya dapat mematikan dan tidak ada laju reproduksi sedangkan pH 6,5 – 9 merupakan kisaran optimal dalam suatu perairan.
Derajat keasaman periaran berdasarkan data yang kami dapat memiliki kisaran 6-7, hal ini menunjukan bahawa perairan sungai yang kami ambil sampelnya berifat netral sehingga cocok untuk budidaya ikan.
Menurut Ghufran dan Andi (2007)(dalam Putra, 2013) , derajat keasaman lebih dikenal dengan istilah pH. pH (singkatan dari puissance negatif de H), yaitu logaritma dari kepekatan ion-ion H (hidrogen) yang terlepas dalam suatu cairan. Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktivitas ion hydrogen .pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat membunuh hewan budidaya. Atas dasar ini, maka usaha budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5–9,0, dan kisaran optimal adalah pH 7,5–8,7.
4.2.5. Lebar Sungai
Lebar adalah jarak antara sisi yang kiri dengan sisi yang kanan. Lebar sungai sangatlah dipengaruhi oleh riparian vegetation yang menjaga terjadinya pengikisan Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk hidup di perairan yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas perairan yang melebihi atau diatas 400μs mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan stress dan akan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka hantaran listrik tinggi (Ewuise, 1990).
Hasil pengukuran lebar stasiun Cowakan Semar dan stasiun Kejajar pada rombongan kami berturut-turut adalah 32 m dan 6,5 m. Hal tersebut disebabkan karena bentuk topografi, substrat dasar, riparian vegetation, erosi dan arus sungai yang membawa endapan dasar sungai tersebut (Raina,2010). Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya (Kottelat et al, 1996).
4.2.6. Kedalaman Sungai
Menurut Sandy (1985), kedalaman sungai sangat tergantung dari jumlah air yang tertampung pada alur sungai yang diukur dari penampang dasar sungai sampai ke permukaan air. Level rataan dasar sungai pengukurannya dirata-ratakan minimal dari tiga titik yang berbeda yaitu di bagian tengah dan kanan kirinya. Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah dan jenis hewan makrobenthos. Kedalaman air juga mempengaruhi kelimpahan dan distribusi hewan makrobenthos. Perairan dengan kedalaman air yang berbeda akan dihuni oleh makrobenthos yang berbeda pula dan terjadi stratifikasi komunitas yang berbeda.
Bedasarkan data yang kami dapat kedalaman sungai sungai yang kami ukur berkisar antara 23-84 cm. Perairan yang baik untuk pemeliharaan ikan berkisar pada kedalaman perairan 75-125 cm, karena air pada kedalaman tersebut masih dipengaruhi oleh sinar matahari sehingga merupakan lapisan yang produktif (Johan,TI 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa sungai-sungai yang kami ukur kedalamannya cocok untuk budidaya ikan, kecuali pada stasiun Kejajar yang memiliki kedalaman yang sangat rendah.
4.2.7. Kejernihan Air
Kecerahan dipengaruhi zat-zat yang terlarut dalam perairan sehingga berhubungan dengan penetrasi sinar matahari. makin tinggi kecerahan, maka intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin besar. Kecerahan perairan berlawanan dengan kekeruhan yang juga disebabkan adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut, maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikrooganisme lainnya. Akibat kekeruhan yang tinggi dapat mengganggu sistem pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penerasi cahaya ke dalam air (Putra 2013).
Kejernihan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya. Penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesa di mana habitat akuatik di batasi oleh kedalaman. Kekeruhan, terutama bila disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap pada dasar perairan, hal ini sering kali penting  untuk dijadikan sebagai faktor pembatas. Sebaliknya, bila kekeruhan disebabkan oleh organisme, ukuran kekeruhan merupakan indikasi produktivitas (Odum, 1996).
Hasil pengukuran kejernihan air pada sungai-sungai tempat kami praktikum sangat bervariasi, Menurut referensi semakin ke hilir tingkat kecerahan makin keruh (Sary, 2006). Kejernihan air sendiri berhubungan dengan kemampuan cahaya menembus perairan, nilai kejernihan sendiri dipengaruhi oleh partikel-partikel tersuspensi (Johan,TI., Ediwarman, 2011).
4.2.8. KecepatanArus
Kecepatan arus penting diamati sebab menurut Angelier (2003) (dalam Siahaan, 2011) merupakan faktor pembatas  kehadiran organisme didalam sungai. Kecepatan arus sungai berfluktuasi (0,09-1,40 m/detik) yang semakin melambat ke hilir. Faktor gravitasi, lebar sungai dan material yang dibawa oleh air sungai membuat kecepatan arus dihulu paling besar. 
Arus merupakan faktor fisika yang mempengaruhi keberadaan dan distribusi organisme perairan dari suatu habitat tempat hidupnya. Arus adalah faktor utama yang membuat kehidupan antara kolam, danau dan perairan mengalir (sungai) menjadi berbeda dan mengatur perbedaan di beberapa tempat dari suatu perairan mengalir. Sehinggga, arus amat penting dipertimbangkan sebagai faktor pembatas. Kecepatan arus ditentukan oleh kemiringan, kekasaran, kedalaman dan kelebaran dasar dari suatu sungai (Odum, 1996).
Berdasarkan kecepatan arus pada sungai yang kami teliti, kecepatan arus yang paling tinggi yaitu berada pada stasiun Kejajar dan yang kecepatan arusnya paling rendah terdapat pada stasiun Cowakan Semar
Kecepatan arus berkurang seiring dengan penambahan kedalaman suatu perairan (Raina,2010). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Odum (1996) bahwa  kecepatan  arus  di  sungai  tergantung  pada  kemiringan, kekasaran, kedalaman dan kelebaran dasar perairan.
4.2.9. Substart dasar
Forman dan Gordon (1983) (dalam Putra, 2013) menyebutkan bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering mencerminkan batuan dasar yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata, kadangkala bentuknya bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya; sering terendapkan matrial yang terbawa oleh aliran sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi oleh batuan dasarnya. Dasarsungai dari hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan tinggi (elevasi), dan pada jarak tertentu atau keseluruhan sering disebut dengan istilah “gradien sungai” yang memberikan gambaran berapa presen rataan kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai gradien berpengaruh besar terhadap laju aliran air.
Substrat dasar adalah kondisi dasar dari perairan yang menjadi tempat tinggal bagi benthos dan menjadi kisaran toleransi bagi beberapa makhluk hidup. Setiap ekosistem tergantung dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tempat, waktu dan masing-masing membentuk basis-basis perbedaan diantara ekosistem itu sendiri sebagai pencerminan sifat-sifat yang khas (Odum, 1996). Substrat dasar termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan organisme. Substrat ini merupakan bagian dasar perairan yang terdiri dari batuan besar, kerikil lumpur, tanah liat berpasir (Hawkins, 1979).
Tipe substrat yang ada pada Sungai Cowakan Semar dan Sungai Kejajar berturut-turut adalah lumpur, pasir dan berpasir,kerikil, batu. Substrat dasar berupa batu besar, kerikil biasanya banyak ditemukan didaerah hulu yang ditempati oleh banyak organisme. Hal ini disebabkan oleh bentuk topografi dari sungai tersebut, dimana arus deras biasanya membawa endapan-endapan pada dasar sungai. Sedangkan substrat dasar yang berupa lumpur, tanah liat berpasir biasanya ditemukan didaerah hilir yang ditempati oleh sedikit organisme (Hawkins, 1979).
4.2.10.  Konduktivitas dan Salinitas
Konduktivitas air bergantung pada jumlah ion-ion terlarut per volumenya dan mobilitas ion-ion tersebut. Satuannya adalah (μmho/cm, 250C). Konduktivitas bertambah dengan jumlah yang sama dengan bertambahnya salinitas. Secara umum, faktor yang lebih dominan dalam perubahan konduktivitas air adalah temperatur. Untuk mengukur konduktivitas digunakan konduktivitimeter.
Salinitas air sungai, di bagian hulu dan tengah hampir jarang dipengaruhi oleh salinitas, berbeda dengan di daerah hilir. Tingginya salinitas air sungai di daerah hilir, disebabkan oleh pengaruh pasang surut air laut. Namun demikian Lebeck (1939), menyatakan bahwa salinitas air baik di bagian hulu, tengah dan hilir selain dipengaruhi oleh pengaruh air laut, juga dipengaruhi oleh kandungan unsur hara yang bersifat basa. Salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme baik secara horisontal maupun secara vertikal (Odum, 1971); Zahidin (2008). Salinitas juga akan mempengaruhi penyebaran plankton, hewan makrobenthos dan organisme perairan lainnya. Penurunan salinitas dapat menentukan distribusi dari invertebrata perairan.
4.2.11.  Skor Fisik Habitat
Menurut barbour and stribling (1991) substrat dasar optimal lebih dari 80% dasar perairan terdiri atas kerikil, batu atau cadas. Sedangkan didaerah hilir antara Lumpur dan pasir, berarti daerah tersebut poor.
Pada stasiun Kejajar dan  stasiun Cowakan Semar berturut-turut adalah 65 dan 50. Berdasarkan angka  yan berbeda pada kedua stasiun tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa ekositem yang berada di stasiun Kejajar lebih baik dari pada di stasiun Cowakan Semar.
Skor fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan habitat sungai tertentu. Dari nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan tersebut dalam keadaan Sub optimal, optimal, marginal atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut. Untuk dapat mendeskripsikan berapa skor fisik habitat dari suatu ekosistem dapat menggunakan tabel Barbour dan Stribling tahun 1991.




V.          KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.       Kesimpulan
1.  Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi fisik sungai Banjaran diantaranya adalah Oksigen BOD, konduktivitas, temperatur, pH, kecepatan arus, kejernihan, lebar sungai, kedalaman, substrat dasar, konduktivitas dan salinitas.
2.  Pola perubahan dari hulu ke hilir sungai mengalami perubahan yang bervariasi sesuai dengan keadaan topografi dari sungai tersebut.
3. Pola longitudinal adalah pola memanjang dari hilir ke hulu untuk mengetahuifaktor fisika kimia suatu lingkungan perairan

5.2.       Saran
·           Kesadaran untuk menjaga ekosistem perairan khususnya pada Daerah Aliran Sungai sangat penting, karena dapat berpengaruh dengan biota perairan yang mana sebagai bioindikator kualitas air.
·           Karena fisikokomia salah satu pengaruh biota perairan, maka lebih baik mengurangi penggunaan atau menekan masuknya bahan-bahan yang berhubungan dengan sifat fisikokimia pada perairan.




DAFTAR PUSTAKA

Armita,Dewi.2011. Analisis Perbandingan Kualitas Air Di Daerah Budidaya Rumput Laut Dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut, Di Dusun Malelaya, Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Skipsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.Universitas Hasanudin Semarang.Makasar

Barus, 2002. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta.
Cahyana,Chevy.2006. Implementasi Model Sebaran Temperatur Di Semenanjung Muria. Jurnal Hasil Penelitian Pusat Teknologi Limbah Radioaktif.

Ewusie, J.K. 1990. Pengantar Ekologi Tropika (terjemahan). ITB Bandung: Bandung

Hawkins, H.A.1979. Invertebrates an Indikator Of River Water Quality. In James, A. And L. Erison, ED. Biology Indikator Of Water Quality. Jon Willey Sons. Toronto.

Johan, TI., Edirmawan. 2011. Dampak Penambangan Emas Terhadap Kualitas Air Sungai Singing Di Kabupaten Kuantan Singing Provinsi Riau. Jurnal Lingkungan. 5 (2)

Kottelat, M., Whitten, J. A., Wirjoatmodjo, S. & Kartikasari, S. N. 1996. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi.Jakarta: Periplus Edition. Ltd.

Odum,  E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada  University Press:  Yogyakarta.

Odum, E.P.1996. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Thahmosamingan. Yogyakarta: Gadjah Mada Press

Putra,H K.2013.Ekologi Perairan Tropis Sungai.Makalah.Fakultas Perikanan dan Kelautan.Universitas Diponegoro.Semarang

Salmin.2005. Oksigen Terlarut (Do) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (Bod) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal Oseana, Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 21 – 26

Siahaan.Ratna dkk.2011.Kualitas Air Sungai Cisadane. Jurnal Institut Pertanian Bogor

Simanjuntak, Marojahan.2007. Oksigen Terlarut dan Apparent Oxygen Utilization
 di Perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Jurnal . Vol. 12 (2) : 59 – 66
Soemarno.2010.Ekosistem Sawah.PSIP-PSUB