Saturday, January 10, 2015

Seputar Info Ikan Sidat



Masih sedikit orang yang tahu apa itu sidat. Di setiap daerah namanya memang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya ikan masapi (Bugis), ikan moa (Betawi), ikan lubang (Sunda), ikan pelus (Lampung), dan lainnya. Meski bukan komoditas baru di bidang perikanan, namun karena tidak banyak di budidayakan, maka popularitasnya kalah dengan ikan konsumsi lainnya. Padahal di negara lain seperti Jepang dan Korea ikan sidat ini menjadi lauk favorit di restoran dimana mereka menyebutnya sebagai unagi.

Jenis Sidat
7 dari 18 jenis sidat di dunia terdapat di Indonesia. Namun diantara 7 jenis itu hanya 2 jenis yang paling populer dan memiliki potensi besar untuk di budidayakan. Bicolor adalah salah satu jenis sidat yang sumber bibitnya berasal dari Jawa (Sukabumi, Cilacap, Jember) dan bibit terbaik banyak ditemukan di sekitar Pelabuhan Ratu, sukabumi, Jawa Barat. Sidat yang memiliki warna hitam kecoklatan polos ini juga sering disebut dengan sidat anjing yang sangat diminati orang Jepang.

Sementara itu jenis sidat lain yang yang tak kalah populer adalah dari jenis marmorata. Sidat jenis ini berwarna hitam kecoklatan dengan corak seperti batik, sering juga disebut dengan sidat kembang. Sumber bibit umumnya diluar pulau Jawa seperti Sulawesi dan Kalimantan. Namun bibit terbaik banyak ditemukan di Poso. Menariknya harga jual Marmorata 2-3 kali lebih mahal dari jenis bicolor dan lebih disukai orang Indonesia, Korea dan Taiwan.
Sekilas sidat nampak mirip dengan belut, namun tubuh sidat lebih memanjang dan memiliki kapala berbentuk segi tiga serta memiliki empat sirip dibagian dada yang sering disebut telinga, dubur, punggung dan ekor. Memiliki sisik yang sangat halus dan tubuhnya ditutupi lendir.

Sidat memiliki siklus hidup di laut akan memijah dan akan berpindah ke muara dan hidup di sungai sejak menetas hingga dewasa. Saat migrasi inilah bibit sidat di tangkap di genangan air payau hingga sungai untuk kemudian dibesarkan di kolam pembesaran dan diberi pakan secara intensif hingga umur dewasa dan siap dijual ke pihak eksportir.


Mungkin karena keterbatasan, pemijahan sidat masih terjadi secara alami yang membuat pembudidaya pembesaran sidat tidaklah banyak. Padahal ketersediaan bibit sidat di Indonesia sangatlah melimpah. Dalam sekali memijah sidat bisa mengeluarkan hingga jutaan telur. Puncak berpijah sidat jenis Bicolor terjadi bulan Mei dan Desember, sedangkan Marmorata di bulan Oktober.

Harga

Masyarakat Indonesia masih belum banyak yang mengetahui bahwa harga bibit hingga sidat dewasa sangatlah mahal. Harga sekilo sidat Marmorata di Jakarta bisa mencapai Rp.900 ribu (isi 6000 ekor), dan Elver Rp.550 ribu (isi 100 ekor).
Meski tergolong mahal, harga sepertinya tidak ada artinya bagi warga ekspatriat yang tinggal di Indonesia, apalagi orang-orang Jepang dan Korea. Bahkan di Jepang, sidat menjadi menu favorit yang disajikan dengan berbagai olahan seperti Kaboyaki, Pilet, Sidat Asap, hingga nuget. Sidat memiliki kandungan vitamin A 45 kali lebih tinggi dari susu sapi. Begitu juga dengan DHA sidat mencapai 1373 mg/100 gram, sementara ikan salmon saja hanya 748 mg/100 gram, serta dipercaya dapat meningkatkan vitalitas pria dewasa. Di Indonesia sidat juga bisa ditemukan di supermarket kelas menengah atas dengan harga Rp.86 ribu (sekitar 25-40 gram). Selain itu banyak juga restoran Jepang dan Korea yang banyak menyajikan sidat. 

Permintaan Banyak
Permintaan sidat di pasar lokal cukup banyak. Begitu juga dengan permintaan ekspor sidat dari Jepang meningkat menjadi 2000 ton di tahun 2011. Hal ini dikarenakan Jepang telah menutup akses impor sidat dari Taiwan dan China yang tercemar bakteri patogen. Dengan demikian tentu permintaan sidat ke Indonesia akan meningkat tajam. Dari kebutuhan sidat di Jepang 60 ribunya masih belum terpenuhi, padahal di Jepang juga punya jenis sidat Japonica sp.
Kabar baiknya lagi, petani sidat juga masih sedikit, padahal persediaan bibit tidak terbatas di sepesisir laut Jawa, Sulawesi dan Kalimantan. Selain itu, pemerintah juga telah melarang ekspor bibit sidat keluar negeri yang tertuang dalam PerMen 18/2009.


Namun sayang, saat ini banyak pondok-pondok yang didirikan warga Jepang dan Korea di daerah Pelabuhan Ratu, Sukabumi Jawa Barat yang berfungsi ganda sebagai tempat penampungan bibit dari masyarakat sekitar untuk dibesarkan di kolam pembesaran milik asing dan dibuat berbagai macam produk olahan sidat yang kemudian di ekspor ke negaranya masing-masing.

Kiat Pembesaran
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa pemijahan terjadi secara alamiah di laut, dan bibit masih tergantung pada hasil tangkapan masyarakat di daerah pesisir pantai, muara, sungai hingga genangan air payau. Dalam memilih bibit sidat yang lincah dan segar harus diketahui proses penangkapan bibit tersebut. Penangkapan dilakukan pada malam hari dengan mengejutkan bibit sidat menggunakan kayu beraliran setrum kecil dari aki sebagai sumber listriknya. Sengatan listrik ini tidak mengenai bibit dan untuk menggiring bibit masuk kedalam jaring saja. Jika bibit terkena sengatan listrik, pertumbuhannya tidak akan bagus.
Ikan sidat (Anguilla spp) adalah komoditas perikanan yang masih baru dan memiliki potensi ekonomi yang cukup menjanjikan dengan pangsa pasarnya yang luas. Jepang merupakan konsumen dan importir ikan sidat terbesar dunia disamping Taiwan, Eropa dan Amerika.

Permintaan yang terus meningkat terhadap komoditas ikan sidat, mendorong berkembangnya industri usaha budidaya ikan sidat secara intensif, akan tetapi faktor ketersediaan benih masih menjadi kendala utama akibat belum dikuasainya teknologi produksi benih ikan sidat secara buatan. Oleh karena itu faktor utama keberhasilan dalam memproduksi ikan sidat sangat ditentukan oleh kelimpahan sumberdaya benih ikan sidat di alam dan kecenderungannya sumberdaya benih alam tersebut terus mengalami penurunan.


Di beberapa negara dengan kondisi alam sub tropis, sangat sulit untuk mengembangkan budidaya ikan sidat. Hal ini dipengaruhi oleh fluktuasi suhu air maupun udara yang tinggi pada saat pergantian musim serta adanya musim-musim tertentu dengan suhu yang sangat dingin. Kondisi ini dapat menghambat budidaya ikan sidat karena proses metabolisme yang tidak berjalan dengan optimal dan waktu budidaya hanya dapat dilakukan beberapa bulan saja.

Selain itu, biaya yang dibutuhkan juga sangat besar untuk menciptakan lingkungan hidup yang dibutuhkan oleh ikan sidat. Berbeda dengan iklim di Indonesia yang memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau dengan fluktuasi suhu yang tidak jauh berbeda sangat membantu dalam aktivitas ikan sidat terutama dalam proses metabolisme sehingga budidaya ikan sidat di Indonesia dapat dilakukan sepanjang tahun.
Melihat potensi pasar dunia untuk ikan sidat khususnya pada jenis sidat Anguilla japonica dan Anguilla anguilla maka diperlukan alternative jenis ikan sidat lainnya yang belum dimanfaatkan untuk dapat menggantikan permintaan pasar tersebut. Di seluruh dunia terdapat 18 jenis ikan sidat, 6 jenis diantaranya ada di Indonesia, yaitu Anguilla marmorata, Anguilla bicolor, Anguilla muritinia, Anguilla celebensis, Anguilla borneoensis dan Anguilla acentralis.

Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan, penyebaran ikan sidat di Indonesia dimulai dari sepanjang pantai sumatera, peisir sedlatan Jawa, Bali, NTB, NTT, sepanjang pantai timur Kalimantan, perairan Sulawesi, Maluku sampai perairan di Papua.
Selain sebagai habitat asli ikan sidat, beberapa tempat di pulau Jawa merupakan lumbung larva kan sidat (glass eel) diantaranya : Pelabuhan Ratu, Cilacap, Purworejo dan Jember. Sedangkan tempat yang mempunyai kelimpahan tinggi untuk benih ikan sidat antaralain: Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Purworejo dan beberapa tempat di pantai selatan Jawa.
Sedangkan di perairan Sulawesi juga menunjukkan adanya sumberdaya glass eel (benih ikan sidat) tersebut.
Faktor alam yang sangat mendukung untuk dilakukan pengembangannya, seperti di laut Sulawesi merupakan perairan dalam yang berbentuk teluk, dari umur glass eel yang tertangkap lebih muda sehingga diduga daerah spawning ground-nya dekat, perairan tawarnya masih bersih dan ketersediaan benihnya sepanjang tahun. Disamping itu, khususnya untuk perairan Sulawesi Utara terdapat wilayah yang dijadikan suaka ikan sidat untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya tersebut.
Dengan potensi benih alam yang cukup melimpah, kondisi lingkungan yang mendukung serta teknologi yang belum berkembang di Indonesia, maka telah mendorong pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menyiapkan teknologi yang aplikatif untuk setiap segmen budidaya ikan sidat. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah produksi ikan sidat sekaligus membuka peluang usaha baru bagi pembudidaya ikan sidat di Indonesia.

Potensi Ikan Sidat di Indonesia dan Upaya Peningkatan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Sidat

Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Namun, potensi tersebut masih banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu diantaranya adalah potensi ikan sidat. Ikan sidat atau Anguilla sp merupakan salah satu komoditas perikanan yang belum banyak dikenal orang. Padahal, hewan yang mirip dengan belut ini memiliki potensi luar biasa sebagai komoditas dalam negeri maupun ekspor. Saat ini, permintaan ekspor sidat terus meningkat. Harga jualnya juga mencengangkan. Ikan sidat merupakan salah satu jenis ikan yang laku di pasar internasional (Jepang, Hongkong, Belanda, Jerman, Italia dan beberapa negara lain), dengan demikian ikan ini memiliki potensi sebagai komoditas ekspor tinggi. Selain memiliki pasar ekspor yang potensial, ikan sidat sendiri memiliki kandungan vitamin yang tinggi. Hati ikan sidat memiliki 15.000 IU/100 gram kandungan vitamin A. Lebih tinggi dari kandungan vitamin A mentega yang hanya mencapai 1.900 IU/100 gram. Bahkan kandungan DHA ikan sidat 1.337 mg/100 gram mengalahkan ikan salmon yang hanya tercatat 820 mg/100 gram atau tenggiri 748 mg/100 gram. Sementara kandungan EPA ikan sidat mencapai 742 mg/100 gram, jauh di atas ikan salmon yang hanya 492 mg/100 gram dan tenggiri yang hanya 409 mg/100 gram. Dengan fakta seperti itu, maka membudidayakan ikan sidat selain mempunyai potensi pasar yang menjanjikan juga bisa memberikan jaminan gizi kepada orang yang mengkonsumsinya.

Di Indonesia paling sedikit memiliki enam jenis ikan sidat yakni: Anguilla mormorata, Anguilla celebensis, Anguilla ancentralis, Anguilla borneensis, Anguilla bicolor bicolor dan Anguilla bicolor pacifica. Jenis-jenis ikan tersebut menyebar di daerah-daerah yang berbatasan dengan laut dalam. Di perairan daratan (inland water) ikan sidat hidup di perairan estuaria (laguna) dan perairan tawar (sungai, rawa dan danau) dataran rendah hingga dataran tinggi. Tingkat pemanfaatan ikan sidat secara lokal (dalam negeri) masih sangat rendah, akibat belum banyak dikenalnya ikan ini, sehingga kebanyakan penduduk Indonesia belum familiar untuk mengkonsumsi ikan sidat. Selain untuk konsumsi, di Indonesia ikan sidat juga dibudidayakan untuk tujuan ekspor, salah satunya untuk memenuhi permintaan benih. Misalnya di Balai Pelayanan Usaha (BLU) Tambak Pandu, Karawang terdapat mitra kerja sama dari Jepang, yakni Asama Industry Co Ltd. mitra ini bekerja sama dengan PT Suri Taini Pemuka yang melakukan kerja sama untuk memproduksi ikan sidat. Ikan sidat yang sudah diproduksi tersebut bisa diekspor langsung ke Jepang karena sudah ada yang menampung.
Sampai saat ini, manusia belum bisa melakukan pemijahan terhadap benih ikan sidat tersebut. Pasalnya, ikan ini mensyaratkan pemijahan dilakukan di perairan laut dalam setelah benur lahir dan menjadi benih. Biasanya anakan sidat akan berenang ke muara sungai. Di muara sungai itulah ikan itu besar sampai kemudian datang masa pemijahan lagi.Di Indonesia sendiri, sumberdaya benih cukup berlimpah. Menurut Kepala Bagian Budidaya di BLU Pandu Karawang, kini sudah ada yang mengomersialkan keberadaan benih ikan sidat, terutama nelayan yang ada di Pelabuhan Ratu. Mereka sudah mengetahui potensi pasar benih ikan sidat, yang satu kilogramnya atau sekitar Rp 1.500.000 benih dijual seharga Rp 2.500.000 per kg. Pembelinya pun kebanyakan datang dari Taiwan, Korea, China, Vietnam, dan tentunya Jepang. Beberapa daerah yang sudah memiliki sebaran benih tersebut adalah perairan Poso, Manado, selatan Jawa terutama perairan Pelabuhan Ratu, dan perairan di barat Sumatera.
Namun, tidak semua daerah itu benihnya bisa dimanfaatkan karena banyak nelayan yang belum mengerti cara untuk menangkapnya. Nelayan yang sudah memiliki kemampuan untuk menangkap benih sidat itu baru nelayan yang ada di Pelabuhan Ratu. Sebagian masyarakat Indonesia belum mengerti keberadaan benih ikan sidat tersebut. Misalnya di Poso dan Manadi, benih ikan sidat tersebut dijadikan ikan yang digoreng dengan rempeyek. Ketika warga tidak mengetahuinya, ikan sidat itu menjadi ikan biasa seperti teri.
Benih ikan sidat yang bisa hidup di air tawar dan asin itu ternyata menjadi incaran pengusaha perikanan Jepang karena harganya yang terbilang mahal. Misalnya, ikan sidat jenis marmorata. Untuk membeli satu kilogramnya harus menyediakan uang setidaknya Rp 350.000. Namun, ada juga 5 jenis ikan sidat lainnya yang salah satunya dijual seharga Rp 250.000 per kg, yakni jenis bicolor. Benihnya banyak ditemukan di perairan Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Ikan sidat terbilang cukup mahal karena proses perawatannya yang membutuhkan waktu lebih panjang, yakni 3-4 bulan. Adapun pakan utamanya adalah pelet dengan protein tinggi yang dijual seharga Rp 14.000 per kg. Selain itu, ikan juga butuh pakan tambahan berupa keong mas yang sudah dipotong-potong. Dalam perawatannya pun, suplai oksigen harus dijaga karena ikan sidat membutuhkan air dengan tingkat larutan oksigen tinggi. Adapun tingkat kehidupan rata-rata ikan sidat tersebut mencapai 75 persen dari bibit yang ditebar.
Masalah yang dihadapi oleh pembudidaya ikan sidat di Indonesia adalah masalah daya saing yang ketat dengan negara produsen lainnya. Negara yang sudah mengembangkan budidaya ikan sidat ini adalah Vietnam dan Korea, demikian juga dengan Jepang sendiri. Anehnya, budidaya di dua negara tersebut mendapatkan benih ikan sidat dari Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah memproteksi ekspor benih ikan sidat dengan alasan guna melindungi spesies dan untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Namun penyelundupan benih sidat mampu lolos dari Indonesia.
Potensi sumberdaya ikan sidat yang cukup besar namun pemanfaatannya belum optimal sebenarnya mampu memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan pemanfaatan sumberdaya ikan sidat adalah sebagai berukut :

1. Inventarisasi Potensi Sumberdaya Ikan Sidat di Indonesia
Data tentang penyebaran dan potensi ikan sidat perlu dikumpulkan dan dianalisis. Pada saat ini data-data hasil penelitian tersebar di beberapa perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian serta lembaga lainnya. Apabila dihimpun, akan tampak di lokasi-lokasi mana saja yang masih harus dilakukan inventarisasi dan informasi apa saja yang masih harus dikumpulkan sehingga datanya dapat dipetakan. Kegiatan inventarisasi ini harus dilakukan hingga dihasilkannya suatu “peta distribusi dan potensi ikan sidat di Indonesia”. Melalui peta tersebut pengguna dapat mengetahui dengan mudah mengenai penyebaran jenis, kelimpahan dan stadia ikan sidat yang ada di perairan Indonesia.
2. Sosialisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Sidat Kepada Masyarakat
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengenal bentuk / rupa ikan sidat dan mencicipi rasanya. Agar ikan sidat dapat dikenal dan dapat diterima sebagai ikan konsumsi oleh masyarakat secara luas maka harus ada usaha-usaha penebaran ikan sidat di daerah-daerah yang secara alami tidak mungkin akan didapatkan ikan sidat. Benih ikan sidat yang ditebar di suatu perairan (sungai, rawa dan danau) akan tumbuh dan ketika suatu saat tertangkap oleh pemancing atau penangkap ikan, maka mereka akan berusaha untuk mengenalinya (mengenal / mengetahui nama jenisnya) dan akan mencoba untuk mengkonsumsinya. Melalui usaha ini, lambat laun masyarakat akan menerima ikan sidat sebagai ikan konsumsi. Apabila masyarakat telah mengenal dan menerima ikan sidat sebagai ikan konsumsi, selanjutnya diharapkan masyarakat akan membutuhkan ikan tersebut dan ikan ini menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar lokal. Sejalan dengan usaha penebaran ikan sidat di perairan-perairan umum, dilakukan pula pengenalan produk-produk olahannya kepada masyarakat (misalnya: dendeng sidat, pepes, presto, sop, kobayaki, sidat asap dan lain-lain), baik melalui media masa elektronik maupun media masa cetak dan pameran-pameran.

Kegiatan ini membutuhkan waktu yang cukup lama (3 – 5 tahun), namun harus dilakukan bila ingin agar masyarakat mengenal, menyenangi dan membutuhkannya. Sasaran akhir dari kegiatan ini adalah meningkatkan permintaan masyarakat akan ikan sidat. Apabila permintaan ikan ini telah meningkat maka untuk memenuhinya otomatis akan memacu kegiatan penangkapan di tempat yang merupakan daerah penyebarannya dan juga akan memacu kegiatan budidayanya. Ikan sidat adalah ikan yang bersifat katadromos artinya ikan ini akan beruaya ke laut dalam ketika akan bereproduksi. Karena ikan ini tidak mungkin berkembangbiak di lokasi yang kita tebari, maka upaya penebaran ikan ini harus dilakukan secara berulang kali. Dalam hal kegiatan penebaran (stocking) ke perairan umum, perlu di awali dengan uji coba pada perairan yang luasnya terbatas (misalnya di situ) dan dikaji dampaknya terhadap populasi jenis ikan lain yang ada di perairan tersebut. Dari kajian ini diharapkan akan diperoleh informasi mengenai dampak (positif atau negatif) dari kegiatan stocking tersebut. Stocking benih ikan sidat ini nantinya diharapkan selain akan dikenali oleh masyarakat juga akan mampu meningkatkan produksi ikan sidat dari perairan umum sebagaimana yang telah dilakukan di Australia.
3. Pengembangan Teknik Penangkapan Ikan Sidat di Perairan Umum
Apabila ikan sidat telah dikenal dan dibutuhkan oleh masyarakat maka kegiatan penangkapan ikan sidat di perairan umum akan meningkat. Untuk mengarahkan agar kegiatan penangkapan ini tidak bersifat destruktif bahkan mengancam kelestariannya maka perlu diperkenalkan teknik penangkapan yang sederhana dan ramah lingkungan. Di samping itu juga perlu dipikirkan dari awal, upaya-upaya konservasi di lokasi-lokasi tertentu yang merupakan jalur ruaya reproduksi ikan tersebut sehingga proses recruitment ikan tersebut tidak terganggu.

4. Pengembangan Teknik Budidaya Ikan Sidat
Sejalan dengan upaya sosialisasi ikan sidat kepada masyarakat, upaya pengenalan teknik budidayanya pun perlu dilakukan. Teknik budidaya sidat yang perlu diperkenalkan kepada masyarakat (petani ikan) adalah teknik budidaya yang sederhana yang tidak membutuhkan banyak modal. Agar biaya produksi pada budidaya ikan sidat relatif rendah maka petani perlu diberi informasi yang memadai mengenai pakan sidat. Hal ini karena 50-60% dari biaya produksi berasal dari komponen pakan, sehingga apabila pakan sidat murah maka biaya produksi akan menjadi murah (rendah).
Ikan sidat merupakan ikan karnivora murni yang membutuhkan pakan berupa hewan lain. Apabila ikan tersebut diberi pakan buatan maka kadar protein pakannya harus tinggi (> 45%) sehingga harga pakannya mahal, hal ini akan menyebabkan biaya produksi dalam budidaya sidat menjadi tinggi sehingga harga sidat bila di jual akan tinggi pula dan ini akan menghambat sosialisasi ikan sidat sebagai ikan konsumsi masyarakat. Untuk menyiasati agar biaya produksi rendah, maka petani harus dibiasakan untuk mulai menggunakan sumber-sumber protein yang saat ini melimpah namun tidak / belum dimanfaatkan secara maksimal, misalnya: keong mas, limbah pengolahan ikan dan ternak atau hewan lain yang dapat dibudidayakan secara sederhana dan murah (misalnya: bekicot, cacing tanah dan lain-lain). Pengembangan teknik budidaya sidat sederhana yang dilakukan oleh masyarakat (petani kecil) dengan skala usaha relatif kecil tetapi pelaksananya (jumlah petani yang terlibat) banyak diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan produksi ikan sidat yang cukup besar dengan harga yang relatif rendah sehingga terjangkau oleh masyarakat.

Bilamana petani-petani ikan sidat telah banyak jumlahnya dan produksi dari hasil budidayanya telah cukup tinggi dan stabil maka produksi yang tadinya untuk tujuan konsumsi lokal dapat dialihkan ke tujuan ekspor. Agar supaya mutu produk petani dan kontinuitas produksi lebih terjamin maka petani ikan perlu menghimpun diri dalam asosiasi-asosiasi yang mampu mandiri dan mampu mengembangkan usahanya ke arah yang lebih maju.
Bersamaan dengan pengembangan budidaya di masyarakat dan oleh masyarakat, lembaga penelitian dan perguruan tinggi harus melakukan penelitian-penelitian yang mengarah pada pemecahan masalah-masalah yang dihadapi oleh petani pelaksana dan penciptaan teknologi yang lebih maju dengan tidak mengesampingkan aspek produktivitas dan efisiensi.

5. Pengembangan Teknik Pengolahan Produk Ikan Sidat
Untuk meningkatkan daya terima masyarakat akan ikan sidat dan nilai tambah ikan sidat itu sendiri, maka produk yang di jual ke konsumen seyogyanya bukan hanya dalam bentuk segar, tetapi juga dalam bentuk olahan. Oleh karena itu maka kajian-kajian tentang proses pengolahan ikan sidat perlu dikembangkan terutama produk olahan yang sangat diminati oleh konsumen lokal ataupun konsumen internasional.
Sidat (Anguilla spp.), atau belut, sejak abad ke 17 sudah dikenal sebagai makanan favorit orang Jepang dan China. Sidat terbukti sudah dikenal di Amerika pada era yang sama. Ini membuat orang Amerika harus meluruskan kembali sejarahnya. Ternyata tidak ada ayam kalkun dalam upacara pengucapan syukur kaum pilgrim (pemukim Inggris pertama di Amerika) pada awal abad 17 itu. Tapi belut terdaftar sebagai salah satu makanan utama yang diberkati pada Thanksgiving Day Amerika pada tahun-tahun permulaan kehidupan mereka di benua baru itu.

Sidat dikonsumsi karena kandungan protein yang tinggi dan Omega-3-nya yang berkhasiat untuk kesehatan tubuh dan stamina. Orang Jepang percaya belut memberi daya tahan tubuh sepanjang tahun, terutama di musim dingin. Maka diresmikanlah Hari Unagi di sana. Di Amerika, adalah Indian yang membawa hantaran belut kepada orang-orang putih, meyakinkan mereka sebagai makanan penguat tubuh, lalu mengajarkan menangkap belut di lumpur sungai.

Dalam perkembangannya, sidat menjadi makanan mewah. Ia menjadi santapan untuk fine dining karena pasokannya berkurang. Di Indonesia sidat belum bisa dibudidayakan sejak pembenihan. Ketersediaan benihnya tergantung tangkapan. Kalau induknya berkurang karena pencemaran sungai atau perubahan iklim atau karena sekalian induknya ditangkap, suplai benih menyusut. Di Jepang dan China produksi benih anjlok 70%. Populasi belut di Eropa susut 95% dalam 20 tahun terakhir (koran the Guardian, 2009).
Perkembangan ini mencelikkan mata kita ke sidat di negeri kita, yang benihnya masih berlimpah. Sidat di perairan dan kawasan basah Indonesia memang belum banyak dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri ataupun kepentingan ekonomi. Asosiasi perusahaan-perusahaan sidat baru dibentuk empat bulan lalu. “Kita pemilik benih yang luar biasa banyaknya, tapi belum terkelola. Karena orang nggak tahu ini komoditas seksi,” ujar Prof. Dr. Martani Huseini, mantan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Komoditas unggulan kita ini membikin seorang pengusaha Jepang yang sudah 30 tahun menggeluti konstruksi dan engineering, banting setir ke pengolahan sidat. Kendati ada juga pengusaha yang nakal, tergiur disparitas harga yang melangit di pasar Jepang, mengekspor benihnya secara ilegal. Padahal ada kesempatan besar meraih devisa berlimpah dan berkelanjutan kalau kita mau membudidayakan pembesarannya. Dona Roy, pembudidaya sidat di Yogyakarta, melihat orang Jepang berani berinvestasi di Indonesia, bikin pendederan sampai ke pengolahan unagi kabayaki, pasti yakin prospeknya panjang, “Pasti perhitungan mereka di atas 5 tahun”.
Martani Huseini yang kini menjadi Ketua Asosiasi Budidaya Sidat Indonesia (Sibusido) meyakini peluang Indonesia dari hulu sampai hilir. Sebagai pemilik sumber benih terbesar, “Dunia akan melihat ke kita, karena di Jepang, di Eropa, dan negara lain itu hampir punah”. Maka Sibusido dan para pemangku kepentingan di bidang ini berkewajiban melindungi agar benih tidak diekspor tapi dibudidayakan di dalam negeri. Bahkan ia menekankan aturan ini bukan sebatas pada benih, tapi juga induknya. Sustainability bukan hanya mengatur benihnya, tapi juga induknya. Artinya, kalau tertangkap induknya, harus dilepas. Namun aturan itu belum ada, dan aturan bukan dibuat pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah.
Kita perlu merebut momentum dan bekerja bersungguh-sungguh. Konsumsi sidat yang mendunia dengan unagi kabayaki dan gulungan-gulungan sushi itu sumber pengadaannya, yakni benih tangkapannya yang alamiah di berbagai tempat di dunia sudah terkungkung masalah serius. Habitatnya terganggu perubahan iklim, pencemaran, penyakit, eksploitasi yang berlebih. Sementara permintaan terus naik. Stok alamiah yang menurun itu diusahakan pemenuhannya melalui budidaya. Sekitar 90% belut yang dikonsumsi di Amerika misalnya, adalah hasil budidaya di China, Jepang, dan Taiwan. Kini ketiganya melirik Indonesia untuk pasokannya.

Maka masalah dunia itu akan jadi masalah Indonesia. Kita bukan hanya diminta memenuhi pasokan konsumsinya. Namun dunia pun bisa sambil mewanti-wanti. Misalnya, belut budidaya bisa mengganggu ekosistem karena benihnya hasil tangkapan liar. Akan mengecilkan kesempatan reproduksi alamiah. Padahal populasi belut dunia memerlukan induk baru. Karena fasilitas budidayanya adalah kolam-kolam terbuka di kawasan basah atau rawa. Pembuangan limbahnya bisa menyerap ke sekitar dan mencemarkan lingkungan. Karena belut itu adalah karnivora yang butuh asupan ikan-ikan kecil (di samping pakan pabrikan). Populasi ikan setempat bisa terancam. Karena binatang ini licin, lihai menyelinap keluar. Kawin campur bisa mengubah pola berkembangbiaknya belut setempat.
Bagaimanapun, Sibusido sejak mula sudah menyadari hal ini. Karena kelestarian ekosistem, kesejahteraan pelaku, pembudidaya, dan pengolah adalah dasar dari pendiriannya.

Referensi
http://www.eelsidatindonesia.com/p/segala-info-tentang-sidat.html

www.produknaturalnusantara.com