LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN
KONDISI FISIKOKIMIA EKOSISTEM SUNGAI
(POLA LONGITUDINAL SUNGAI SERAYU)
Oleh:
Aridian Laras
Setyani
|
H1H013010
|
Asisten :
Muslikha
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2014
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pola
longitudinal adalah pola memanjang dari hilir ke hulu untuk mengetahuifaktor
fisika kimia suatu lingkungan perairan dan mengetahui organisme yang hidupdi
perairan tersebut. Pola longitudinal digunakan di suatu perairan seperti
sungai.distribusi longitudinal terjadi dimana kemiringan tidak jauh berbeda
dari hulu kehilir. Daerah hulu biasanya menunjukan toleransi yang besar sampai
sepanjangsungai. Perubahan longitudinal yang jelas berhubungan dengan perubahan
yangsangat terlihat yaitu suhu, kecepatan arus dan pH
Ekosistem adalah kumpulan
dari komunitas beserta faktor biotik (tumbuhan, hewan dan manusia) dan abiotik
(suhu, iklim, senyawa-senyawa organic dan anorganik). Menurut undang-undang
lingkungan hidup (UULH) tahun 1982 ekosistem adalah tatanan kesatuan secara
utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
Ekosistem merupakan tingkat yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan
kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi hubungan
antar keduanya (Irwan 1992).
1.2.
Tujuan
Praktikum ekologi
perairan dalam menentukan kondisi fisikokimia
ekosistem sungai (pola
longitudinal sungai Banjaran) adalah sebagai berikut :
•
Mahasiswa
dapat melakukan pengukuran oksigen terlarut, kecepatan arus, konduktivitas, pH,
temperatur, BOD, kejernihan air, substrat dasar
•
Mahasiswa
dapat mengetahui faktor fisiko kimia yang mana yang menunjukkan pola
longitudinal
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Ekosistem
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa
dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secarautuh dan menyeluruh antara segenap
unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan
penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik
antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada
suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme
dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada. Dalam
ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan
fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik.
Sebaliknya organisme juga mempengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup.
Pengertian ini didasarkan pada hipotesis Gaia, yaitu: "organisme,
khususnya mikroorganisme, bersama-sama dengan lingkungan fisik menghasilkan
sutu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi cocok untuk kehidupan".
Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa kandungan kimia atmosfer dan bumi sangat
terkendali dan sangat berbeda dengan planet lain di tata surya(Soemarno.2010)
Ekosistem perairan dibedakan dalam
tiga kategori utama yaitu ekositem air tawar, ekosistem estuarin, dan ekosistem
laut. Habitat air tawar dibedakan menjadi dua kategori umum, yaitu sistem lentik
(kolam, danau, situ, rawa, telaga, waduk) dan sistem lotik (sungai).
Sistem lentik adalah suatu perairan yang dicirikan air yang mengenang atau
tidak ada aliran air, sedangkan sistem lotik adalah suatu perairan yang
dicirikan oleh adanya aliran air yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam
perairan mengalir.
2.2.
Sungai
Menurut
Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991
tentang sungai .Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta
jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatas kanan
dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Sungai
adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air adalah benda cair, yang
senantiasa bergerak kearah tempat yang lebih rendah, yang dipengaruhi oleh
gradien sungai dan gaya gravitasi bumi. Menurut Sandy (1985)(dalam Putra,
2013), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu, juga mengkikis bumi,
sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran
kecil dan atau besar, yang disebut dengan istilah alur sungai (badan sungai).
Lebih jauh dikemukakan bahwa aliran sungai di bagian luarnya dibatasi oleh bagian
batuan yang keras yang disebut dengan tanggul sungai.
2.3.
Parameter
Fisikokimia Perairan Sungai
2.3.1. Oksigen terlarut (DO)
Oksigen adalah salah satu unsur
kimia yang sangat penting sebagai penunjang utama kehidupan berbagai organisme.
Oksigen dimanfaatkan oleh organisme perairan untuk proses respirasi dan menguraikan zat organik menjadi zat
an-organik oleh mikro organisme. Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi
udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup dalam suatu
perairan dan dibutuhkan oleh organisme untuk mengoksidasi zathara yang masuk ke
dalam tubuhnya (Nybakken, 1988 dalam Marojahan
2007). Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas
perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi
bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis
yang dilakukan oleh organisme aerobic atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik,
peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil
akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan.
Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa
kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses
oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk
membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara
perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan
rumah tangga. Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi
dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan
tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme,
sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain
yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya yang penting ini, air
buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan umum terlebih dahulu
diperkaya kadar oksigennya (Salmin,2005)
2.3.2. Biological Oxygen Demand
(BOD)
Kebutuhan oksigen biologi
(BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme
pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan
organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai
bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (PESCOD,1973 dalam
Salmin 2005 ). Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan
tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri
aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD
merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya
oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan
bahan organic yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama
dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa
harus bebas dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari oksigen yang ada
di udara bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus berada pada
suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya oksigen
terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan mengingat
kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9 ppm pads suhu 20°C
(SAWYER & MC CARTY, 1978 dalam Salmin 2005)
2.3.3. Temperatur
Temperatur adalah karakter fisik air laut yang sangat
penting, karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi badan air laut secara
umum. Temperatur, salinitas dan tekanan dapat menentukan kerapatan air laut. Sebaran
temperatur pada permukaan laut dipengaruhi oleh fluks panas, penguapan, curah
hujan, air sungai yang mengalir ke laut serta pembekuan dan pencairan es di
laut. Fluks panas terdiri dari beberapa komponen, yaitu insolation Qsw, radiasi
infra merah QLW, fluks panas sensible Qs dan fluks panas laten QL (Gambar 1).
Perubahan temperatur pada permukaan laut dapat menimbulkan penurunan atau
peningkatan kerapatan air pada permukaan laut. Jika air dari permukaan mengalir
ke bagian laut yang lebih dalam, maka akan terjadi hubungan yang khusus antara
temperatur dan salinitas yang dapat digunakan untuk identifikasi sumber dan
untuk merunut gerakan air laut di bagian dalam. Sebaran kerapatan di bagian
dalam laut secara langsung berkaitan dengan sebaran gradient tekanan horisontal
yang dapat mempengaruhi arus laut. Gerakan laut seperti itu disebut sirkulasi thermohaline
(Cahyana,2006)
2.3.4. Derajat keasaman air (pH)
Sutika (1989) (dalam Armita 2011) mengatakan bahwa derajat keasaman atau kadar ion H dalam air
merupakan salah satu faktor kimia yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
organisme yang hidup di suatu lingkungan perairan. Tinggi atau rendahnya nilai
pH air tergantung dalam beberapa faktor yaitu : kondisi gas-gas dalam air
seperti CO2, konsentrasi garam-garam karbonat dan bikarbonat, proses
dekomposisi bahan organic di dasar perairan.
Derajat keasaman merupakan faktor
lingkungan kimia air yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput
laut. Menurut pendapat Soesono (1988) (dalam Armita 2011) bahwa pengaruh bagi
organisme sangat besar dan penting, kisaran pH yang kurang dari 6,5 akan
menekan laju pertumbuhan bahkan tingkat keasamannya dapat mematikan dan tidak
ada laju reproduksi sedangkan pH 6,5 – 9 merupakan kisaran optimal dalam suatu
perairan.
2.3.5. Lebar Sungai
Lebar adalah jarak antara sisi yang kiri dengan sisi yang kanan.
Lebar sungai sangatlah dipengaruhi oleh riparian vegetation yang menjaga
terjadinya pengikisan Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk
hidup di perairan yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas perairan yang melebihi
atau diatas 400μs mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan
stress dan akan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka
hantaran listrik tinggi (Ewuise, 1990).
2.3.6. Kedalaman Sungai
Menurut Sandy (1985), kedalaman sungai sangat tergantung
dari jumlah air yang tertampung pada alur sungai yang diukur dari penampang
dasar sungai sampai ke permukaan air. Level rataan dasar sungai pengukurannya
dirata-ratakan minimal dari tiga titik yang berbeda yaitu di bagian tengah dan
kanan kirinya. Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah dan jenis hewan
makrobenthos. Kedalaman air juga mempengaruhi kelimpahan dan distribusi hewan
makrobenthos. Perairan dengan kedalaman air yang berbeda akan dihuni oleh makrobenthos
yang berbeda pula dan terjadi stratifikasi komunitas yang berbeda. Perairan
yang lebih dalam mengakibatkan makrobenthos mendapat tekanan fisiologis dan
hidrostatis yang lebih besar (Reish, 1979; Zahidin (2008). Kedalaman perairan
juga mempengaruhi penetrasi sinar matahari ke dalam perairan sehingga secara
tidak langsung akan mempengaruhi kebutuhan oksigen dan pertumbuhan organisme
bentik (Sukarno, 1981; Zahidin 2008). Tang dan Kasmawati (1992); Zahidin
(2008), mengatakan bahwa produktivitas perairan berkurang dan mengakibatkan
rendahnya kepadatan hewan makrobenthos pada perairan yang lebih dalam
dikarenakan kandungan bahan-bahan organik yang lebih sedikit atau kurang
melimpah. Interaksi antara kekeruhan dan kedalaman perairan akan mempengaruhi penetrasi
cahaya matahari sehingga mempengaruhi kecerahan suatu perairan. (Putra,2013)
2.3.7. Kejernihan Air
Kecerahan perairan juga banyak dipengaruhi oleh
bahan-bahan halus yang melayang dalam perairan, baik berupa bahan organik
(plankton, jasad renik, detritus) maupun bahan anorganik (partikel lumpur dan
pasir). Kecerahan dipengaruhi zat-zat yang terlarut dalam perairan sehingga
berhubungan dengan penetrasi sinar matahari. makin tinggi kecerahan, maka
intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin besar. Kecerahan
perairan berlawanan dengan kekeruhan yang juga disebabkan adanya bahan organik
dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut, maupun bahan anorganik dan organik
yang berupa plankton dan mikrooganisme lainnya. Akibat kekeruhan yang tinggi dapat
mengganggu sistem pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat
menghambat penerasi cahaya ke dalam air (Putra 2013).
2.3.8. Kecepatan Arus
Kecepatan arus penting diamati sebab menurut
Angelier (2003) (dalam Siahaan, 2011) merupakan faktor pembatas kehadiran organisme didalam sungai. Kecepatan
arus sungai berfluktuasi (0,09-1,40 m/detik) yang semakin melambat ke hilir.
Faktor gravitasi, lebar sungai dan material yang dibawa oleh air sungai membuat
kecepatan arus dihulu paling besar.
2.3.9. Substart dasar
Forman dan Gordon (1983) (dalam Putra, 2013) menyebutkan
bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering mencerminkan batuan dasar yang
keras. Jarang ditemukan bagian yang rata, kadangkala bentuknya bergelombang,
landai atau dari bentuk keduanya; sering terendapkan matrial yang terbawa oleh
aliran sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi
oleh batuan dasarnya. Dasarsungai dari hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan
tinggi (elevasi), dan pada jarak tertentu atau keseluruhan sering disebut
dengan istilah “gradien sungai” yang memberikan gambaran berapa presen rataan
kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai gradien
berpengaruh besar terhadap laju aliran air.
2.3.10. Konduktivitas dan Salinitas
Konduktivitas air bergantung pada jumlah ion-ion
terlarut per volumenya dan mobilitas ion-ion tersebut. Satuannya adalah
(μmho/cm, 250C). Konduktivitas bertambah dengan jumlah yang sama
dengan bertambahnya salinitas. Secara umum, faktor yang lebih dominan dalam
perubahan konduktivitas air adalah temperatur. Untuk mengukur konduktivitas
digunakan konduktivitimeter.
Salinitas air sungai, di bagian hulu dan tengah
hampir jarang dipengaruhi oleh salinitas, berbeda dengan di daerah hilir.
Tingginya salinitas air sungai di daerah hilir, disebabkan oleh pengaruh pasang
surut air laut. Namun demikian Lebeck (1939), menyatakan bahwa salinitas air
baik di bagian hulu, tengah dan hilir selain dipengaruhi oleh pengaruh air
laut, juga dipengaruhi oleh kandungan unsur hara yang bersifat basa. Salinitas
akan mempengaruhi penyebaran organisme baik secara horisontal maupun secara
vertikal (Odum, 1971); Zahidin (2008). Salinitas juga akan mempengaruhi
penyebaran plankton, hewan makrobenthos dan organisme perairan lainnya. Penurunan
salinitas dapat menentukan distribusi dari invertebrata perairan.(Putra, 2013)
2.3.11. Skor Fisik Habitat
Skor
fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan
habitat sungai tertentu. Dari nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana
kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan tersebut dalam keadaan Sub
optimal, optimal, marginal atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup
didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut. Untuk dapat
mendeskripsikan berapa skor fisik habitat dari suatu ekosistem dapat
menggunakan tabel Barbour dan Stribling tahun 1991.
III. MATERI DAN METODE
3.1.
Materi
3.1.1.
Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah
botol Winkler, pipet ukur atau jarum suntik, labu Erlenmeyer.
3.1.2.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel
250 ml, larutan MNSO4 1ml, larutan KOH-KI
1ml, larutan H2SO4 pekat, larutan Na2S2O3 (0,025 N), 10 tetes indikator amilum
3.2.
Metode
3.2.1.
Dissolved Oxygen (DO)
Sabanyak 250 ml sampel air diambil menggunakan botol Winkler
tanpa ada gelembung. Berturut-turut
larutan MNSO4 dan KOH-KI ditambahkan masing-masing larutan sebanyak 1 ml, biarkan sesaat sampai endapan terbentuk. Larutan
H2SO4 pekat ke dalam botol lalu dikocok sampai endapan larut. Sebanyak 100 ml
campuran larutan dipindahkan ke dalam labung erlenmeyer. Larutan di titrasi
dengan N2S2O3 (0,025 N) sampai larutan berwarna kuning muda. Sebanyak 10 tetes
indikator amilum ditambahkan hingga larutan berwarna biru. Dititrasi kembali dengan larutan
Na2S2O3 (0.025 N) sampai warna biru hilang Titrasi duplo dan hasilnya
dirata-rata dan dihitung dengam menggunakan rumus:
Oksigen terlarut = 1000/100 x p x q x 8
p : volume larutan
Na2s2O3
q : normalitas larutan
8 : bobot setara larutan
3.2.2. Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD)(MetodeWinkler)
Pengukuran BOD menggunakan metode Winkler. Sampel air diambil menggunakan dua
botol Winkler senanyak 250 ml sampai penuh. Botol Winkler pertama langsung
diukur kandungan oksigennya (DOo hari), sedangkan botol kedua
diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 oC. Setalah 5 hari, diperiksa kandungan oksigennya (DO5 hari).
Serta dihitung menggunakan rumus :
Keterangan :
3.2.3. Pengukuran Temperatur
Termometer dicelupkan ke dalam perairan, tunggu kurang lebih 5 menit
sampai angka pengukuran stabil. Pengukuran dilakukan di 3 titik perairan
tersebut dan di rata-ratakan data.
3.2.4. Pengukuran Derajat keasaman air (pH)
Kertas pH dicelupkan pada sampel air. Samakan
perunahan warna pada kertas dengan skala warna pH yang tercantum.
3.2.5. Pengukuran Lebar Sungai
Pengukuran
lebar sungai menggunakan estimasi dengan menggunakan titik-titik pengestimasian.
3.2.6. Pengukuran Kedalaman Sungai
Pengukuran kedalaman sunai menggunakan tali
yang terdapat pada Keping Secchii yang dimasukan ke dalam perairan.
3.2.7. Pengukuran Kejernihan air
Keping Secchii
dimasukkan ke dalam air. Kedalaman diukur sampai batas antara hitam dan putih
tak dapat dibedakan. Jika sampai dasar sungai masih dapat dibedakan, makan
kedalaman sampai dasar tersebut dicatat.
3.2.8. Pengukuran Kecepatan Arus
Kecepatan arus diukur dengan cara botol air
mineral 600 ml diisi air dengan volume ¾ penuh dan diikat dengan tali rapia
sepanjang 10 m, botol dilepaskan searah dengan arus perairan dan catat waktu
sampai tali terlihat lurus.
3.2.9. Pengukuran Substart
Dasar
Pengukuran substrat dasar dengan mengambil
sampel substrat dasar perairan dan di stimasi dengan menggunakan tabel
kategori.
3.2.10.
Pengukuran Konduktivitas dan Salinitas
Pengukuran konduktivitas menggunakan
konduktivitimeter dan diukur daya hantar listrik dan salinitas perairan
3.2.11.
Pengukuran Skor Fisik Habitat
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan
Tabel Kriteria Penilaian Kondisi Fisik Habitat Barbour dan Staibling
Tabel 2.Kriteria Penilaian Kondisi Fisik Habitat Barbour danStribling
Habitat
parameter
|
Optimal
SKOR: 20
|
Suboptimal
SKOR: 15
|
Marginal
SKOR: 10
|
Poor
SKOR: 5
|
Substrat
dasar
|
Lebih dari
60% dasar perairan terdiri atas
kerikil, batu, cadas dengan porsi yang kurang lebih sama.
|
30-60% dari dasar perairan berupa bebatuan atau
cadas didominasi oleh salah satu kelas
ukuran tersebut.
|
10-30% merupakan salah satu materi yang
besar tetapi lumpur atau pasir
70-90% mendominasi substrat dasar.
|
Substrat didominasi oleh lumpur dan pasir
kerikil dan materi yang besar <10%.
|
Kekomplek
kan
habitat
|
Berbagai macam tipe kayu pohon, cabang,
tumbuhan akuatik, terdapat pada segmen sungai membentuk habitat yang
bervariasi. Segmen sungai tertutup kanopi.
|
Substrat cukup bervariasi. Segmen sungai
cukup terlindungi.
|
Habitat didominasi 1 atau 2 macam
substrat, Tumbuhan tepi yang dinaungi segmen sungai sedikit.
|
Habitat monoton pasir dan lumpur
menyebabkan habitat tidak bervariasi.
|
Kualitas
bagian menggenang
|
25% dari bagian yang menggenang sama atau
lebih lebar dari setengah lebar sungai, kedalaman >1m.
|
<5% bagian yang menggenang
kedalamannya >1m dan lebih ½ lebar sungai. Umumnya bagian yang dalam ini
lebih kecil dari setengah sungai
dan kedalamannya > 1m.
|
<1% bagian yang menggenang
kedalamannya >1m dan lebih lebar sungai bagian yang menggenang ini mungkin
sangat dalam/ dangkal. Habitat tidak bervariasi.
|
Bagian yang menggenang kecil dan dangkal bahkan mungkin tidak
terdapat bagian yang menggenang.
|
Kestabilan
tepi sungai
|
Tidak pernah ada bukti-bukti bahwa tempat
tersebut pernah terjadi erosi atau berpotensi erosi.
|
Jarang terjadi bagian tepi yang gugur,
kemungkinan gugur ada tetapi rendah.
|
Bagian tepi ada ynag mengalami erosi pada
saat banjir.
|
Bagian tepi tidak stabil, sering terjadi
erosi.
|
3.3.
Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum Pola Longitudinal ini dilaksanakan pada tanggal 2 November 2014
di Sungai Cowakan Semar dan Sungai Kejajar, Jawa Tengah
3.4.
Analisis
Data
Analisis data praktikum
yang telah didapat dengan membuat grafik menggunakan software microsoft excell,
lalu dituangkan dalam pembahasan yang terperinci.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil Pengamatan Kondisi Fisikokimia
Ekosistem Sungai (Pola Longitudinal)
Tabel 3. Kondisi
Fisikokimia Ekosistem Sungai (Pola Longitudinal DAS)
Faktor Fisiko Kimia
Stasiun
|
Tempera-
tur (OC)
|
Kecepatan
Arus(M)
|
pH
|
Lebar
Sungai (m)
|
O2
|
BOD
|
Tipe
Substrat
|
Skor
Fisik Habitat
|
Kedala-man
(m)
|
Kece-ra-han
|
Konduktivitas
(mmhos)
|
Kejajar
|
24
|
0,63-0,77
|
7
|
6,5
|
7
|
2,2
|
Berpasir,
kerikil,
batu
|
65
|
23
|
8,30
|
97
|
Garung
|
22
|
0,625-0,714
|
7
|
17
|
5
|
1,9
|
batu
|
80
|
60
|
22,5
|
99
|
Prigi
|
27
|
0,303-1,66
|
6
|
32
|
6,4
|
1,3
|
Batu, berpasir, berlumpur
|
55
|
35,67
|
34
|
102
|
Singomerto
|
26,3
|
0,2985
|
7
|
50
|
7
|
2,1
|
Berbatu
|
65
|
50,8
|
50,8
|
116
|
Mrican
|
26
|
0,357
|
6
|
18
|
5,3
|
3,4
|
Batu dan kerikil
|
60
|
88,3
|
41
|
160
|
Mandiraja
|
28,3
|
0,67-1,67
|
7
|
85
|
6
|
1,9
|
Kerikil,batu
|
55
|
40
|
28,5
|
114
|
Kembangan
|
27,2
|
0,595
|
7
|
44
|
5,6
|
2,7
|
Berbatu
|
63
|
50,9
|
50,9
|
124
|
Cowakan Semar
|
29
|
0,1-0,2
|
7
|
32
|
5,2
|
2,6
|
Lumpur
,pasir
|
50
|
45,5
|
20
|
|
4.2.
Pembahasan
4.2.1.
Dissolved
Oxygen (DO)
Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi udara dan
hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup dalam suatu perairan dan
dibutuhkan oleh organisme untuk mengoksidasi zathara yang masuk ke dalam
tubuhnya (Nybakken, 1988 dalam Marojahan 2007). Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas
perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi
bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan kan biologis
yang dilakukan oleh organisme aerobic atau anaerobik.
Rata-rata oksigen terlarut pada sungai yang kami praktikumkan berkisar 6,8
mg/l. Nilai oksigen terlarut yang paling tinggi adalah di Stasiun Kejajar yaitu
7 mg/ l dan paling rendah adalah di
Sungai Garung yaitu 5 mg/ l. Dilihat dari jumlahnya, oksigen (O2) adalah satu jenis gas terlarut dalam air dengan jumlah
yang sangat banyak, yaitu menempati urutan kedua setelah nitrogen. Namun jika
dilihat dari segi kepentingan untuk budidaya perariran, oksigen menempati
urutan teratas. Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernafasannya haruslah
terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila
ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka
segala aktivitas biota akan terhambat ((Ghufran dan Andi, 2007) dalam Putra,
2013).
Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua
aspek yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif
yang bergantung pada keadaan metabolisme ikan. Ikan memerlukan oksigen guna
pembakaran bahan bakarnya (makanan) untuk menghasilkan aktivitas, seperti
aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi, atau sebaliknya. Tampak dengan
jelas bahwa ketersediaan oksigen bagi ikan menentukan lingkaran aktivitas ikan.
Konversi makanan, demikian juga laju pertumbuhan, bergantung pada oksigen,
dengan ketentuan bahwa selama faktor kondisi lainnya adalah optimum. Ghufran
dan Andi (2007) (dalam Putra,2013) oksigen dihasilkan melalui proses difusi
dari udara yang mengandung 20,95% oksigen. Proses ini terjadi sangat cepat pada
selaput permukaan air, namun berjalan sangat lambat ke lapisan yang lebih
dalam. Proses difusi ini baru dapat terjadi apabila terdapat perbedaan tekanan
oksigen di dalam air dan di udara.
Sumber
oksigen lainnya adalah fitoplankton. Jasad hidup melalui proses fotosintesis
dapat menghasilkan oksigen seperti terlihat dari persamaan reaksi berikut:
6CO2 + 6H2O klorofil dan cahaya matahari C6H12O6 + 6O2
Persamaan
ini menjelaskan terjadinya reaksi antara karbondioksida dan air dengan bantuan
cahaya matahari berlangsung di klorofil menghasilkan gula dan oksigen ((Ghufran
dan Andi, 2007 dalam Putra, 2013) .
4.2.2.
Biological
Oxygen Demand (BOD)
Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan
tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri
aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD
merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya
oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan
bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama dengan
kondisi yang ada di alam (PESCOD,1973 dalam Salmin 2005 ).
Berdasarkan data pengukungan BOD yang kami dapat bahwa
sungai yang memiliki kandungan BOD paling rendah adalah Stasiun Prigi yaitu
sebesar 1,3 dan sungai yang memiliki kandungan BOD paling tinggi adalah Stasiun
Kembangan yaitu sebesar 2,7.
4.2.3.
Temperatur
Salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur
proses kehidupan dan penyebaran organisme adalah temperatur (Nybakken, 1988);
Zahidin (2008). Termasuk hewan makrobenthos juga dipengaruhi oleh temperatur
perairan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Effendi (2003);
Zahidin (2008) bahwa kisaran temperatur yang optimal untuk pertumbuhan
fitoplankton secara umum di perairan adalah 200C – 300C.
Pertumbuhan yang optimal Filum Chlorophyta akan terjadi pada kisaran
temperature 300C – 350C dan untuk Diatom pada temperatur
200C – 300C. Phylum Cyanophyta dapat bertoleransi
terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Chlorophyta
dan Diatom.
Secara umum, temperatur air sungai secara horizontal
dipengaruhi oleh ketinggiantempat (elevasi). Sandy (1985), mengemukakan bahwa
di daerah-daerah hulu air sungai relatif dingin, sedangkan di bagian tengah dan
hilir semakin tinggi suhunya. Akan tetapi Cole (1979); Zahidin (2008),
menyatakan bahwa selain pemanasan bersumber dari matahari, suhu air sungai juga
sering bersumber dari batuan kapur dan atau panas bumi. Tinggi rendahnya
temperatur air sungai, akan berpengaruh terhadap kehidupan (biota) perairan
sungai.
Berdasarkan data yang kami peroleh
temperatur yang paling tinggi terdapat di Stasiun Cowakan Semar yaitu 29
0C
dan teperatur yang paling rendah terdapat di Stasiun Garung yaitu 22 0C.
Menurut Barus (2002), kisaran suhu
air yang baik dalam perairan dan kehidupan ikan yaitu berkisar antara 23-320C .
Air mempunyai sifat unik
yang berhubungan dengan panas yang secara bersama-sama mengurangi perubahan
suhu dalam air lebih kecil dan perubahan terjadi lebih lambat daripada udara.
Variasi suhu dalam air tidak sebesar jika dibandingkan di udara hal ini
merupakan faktor pembatas utama karena organisme akuatik sering kali mempunyai
toleransi yang sempit. Perubahan suhu menyebabkan pola sirkulasi yang khas dan
stratifikasi yang amat mempengaruhi kehidupan akuatik (Odum, 1993).
Menurut Ferdiaz 1992
Kenaikan temperatur akan menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut:
a)
Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun.
b)
Kecepatan reaksi kimia meningkat.
c)
Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
d)
Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan
e)
hewan air lainnya mungkin akan mati.
4.2.4.
Derajat
keasaman air (pH)
Derajat keasaman merupakan faktor
lingkungan kimia air yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput
laut. Menurut pendapat Soesono (1988) (dalam Armita 2011) bahwa pengaruh bagi
organisme sangat besar dan penting, kisaran pH yang kurang dari 6,5 akan
menekan laju pertumbuhan bahkan tingkat keasamannya dapat mematikan dan tidak
ada laju reproduksi sedangkan pH 6,5 – 9 merupakan kisaran optimal dalam suatu
perairan.
Derajat keasaman periaran berdasarkan data
yang kami dapat memiliki kisaran 6-7, hal ini menunjukan bahawa perairan sungai
yang kami ambil sampelnya berifat netral sehingga cocok untuk budidaya ikan.
Menurut Ghufran dan Andi (2007)(dalam
Putra, 2013) , derajat keasaman lebih dikenal dengan istilah pH. pH (singkatan
dari puissance negatif de H), yaitu logaritma dari kepekatan ion-ion H
(hidrogen) yang terlepas dalam suatu cairan. Derajat keasaman atau pH air
menunjukkan aktivitas ion hydrogen .pH air mempengaruhi tingkat kesuburan
perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang
produktif, malah dapat membunuh hewan budidaya. Atas dasar ini, maka usaha
budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5–9,0, dan kisaran
optimal adalah pH 7,5–8,7.
4.2.5.
Lebar
Sungai
Lebar adalah jarak antara sisi yang kiri dengan sisi yang kanan.
Lebar sungai sangatlah dipengaruhi oleh riparian vegetation yang menjaga
terjadinya pengikisan Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk
hidup di perairan yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas perairan yang melebihi
atau diatas 400μs mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan
stress dan akan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka
hantaran listrik tinggi (Ewuise, 1990).
Hasil pengukuran lebar stasiun Cowakan Semar dan stasiun
Kejajar pada rombongan kami berturut-turut adalah 32 m dan 6,5 m. Hal tersebut disebabkan karena bentuk
topografi, substrat dasar, riparian vegetation, erosi dan arus sungai yang
membawa endapan dasar sungai tersebut (Raina,2010). Semakin panjang dan lebar
ukuran sungai semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya (Kottelat et
al, 1996).
4.2.6.
Kedalaman Sungai
Menurut Sandy (1985), kedalaman sungai sangat
tergantung dari jumlah air yang tertampung pada alur sungai yang diukur dari
penampang dasar sungai sampai ke permukaan air. Level rataan dasar sungai
pengukurannya dirata-ratakan minimal dari tiga titik yang berbeda yaitu di
bagian tengah dan kanan kirinya. Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah dan
jenis hewan makrobenthos. Kedalaman air juga mempengaruhi kelimpahan dan
distribusi hewan makrobenthos. Perairan dengan kedalaman air yang berbeda akan
dihuni oleh makrobenthos yang berbeda pula dan terjadi stratifikasi komunitas
yang berbeda.
Bedasarkan data yang kami dapat kedalaman sungai
sungai yang kami ukur berkisar antara 23-84 cm. Perairan yang baik untuk
pemeliharaan ikan berkisar pada kedalaman perairan 75-125 cm, karena air pada
kedalaman tersebut masih dipengaruhi oleh sinar matahari sehingga merupakan
lapisan yang produktif (Johan,TI 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa
sungai-sungai yang kami ukur kedalamannya cocok untuk budidaya ikan, kecuali
pada stasiun Kejajar yang memiliki kedalaman yang sangat rendah.
4.2.7.
Kejernihan Air
Kecerahan dipengaruhi zat-zat yang terlarut dalam perairan
sehingga berhubungan dengan penetrasi sinar matahari. makin tinggi kecerahan,
maka intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin besar.
Kecerahan perairan berlawanan dengan kekeruhan yang juga disebabkan adanya
bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut, maupun bahan
anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikrooganisme lainnya. Akibat
kekeruhan yang tinggi dapat mengganggu sistem pernafasan dan daya lihat
organisme akuatik, serta dapat menghambat penerasi cahaya ke dalam air (Putra
2013).
Kejernihan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya.
Penetrasi
cahaya sering kali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona
fotosintesa di mana habitat akuatik di batasi oleh kedalaman. Kekeruhan,
terutama bila disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap pada
dasar perairan, hal ini sering kali penting untuk dijadikan sebagai faktor pembatas.
Sebaliknya, bila kekeruhan disebabkan oleh organisme, ukuran kekeruhan merupakan indikasi produktivitas (Odum,
1996).
Hasil pengukuran kejernihan air pada sungai-sungai
tempat kami praktikum sangat bervariasi, Menurut referensi semakin ke hilir tingkat
kecerahan makin keruh (Sary, 2006). Kejernihan air sendiri berhubungan dengan
kemampuan cahaya menembus perairan, nilai kejernihan sendiri dipengaruhi oleh
partikel-partikel tersuspensi (Johan,TI., Ediwarman, 2011).
4.2.8.
KecepatanArus
Kecepatan arus penting diamati sebab menurut
Angelier (2003) (dalam Siahaan, 2011) merupakan faktor pembatas kehadiran organisme didalam sungai. Kecepatan
arus sungai berfluktuasi (0,09-1,40 m/detik) yang semakin melambat ke hilir.
Faktor gravitasi, lebar sungai dan material yang dibawa oleh air sungai membuat
kecepatan arus dihulu paling besar.
Arus merupakan faktor fisika yang mempengaruhi
keberadaan dan distribusi organisme perairan dari suatu habitat tempat
hidupnya. Arus adalah faktor utama yang membuat kehidupan antara kolam, danau
dan perairan mengalir (sungai) menjadi berbeda dan mengatur perbedaan di
beberapa tempat dari suatu perairan mengalir. Sehinggga, arus amat penting
dipertimbangkan sebagai faktor pembatas. Kecepatan arus ditentukan oleh kemiringan,
kekasaran, kedalaman dan kelebaran dasar dari suatu sungai (Odum, 1996).
Berdasarkan kecepatan arus pada
sungai yang kami teliti, kecepatan arus yang paling tinggi yaitu berada pada
stasiun Kejajar dan yang kecepatan arusnya paling rendah terdapat pada stasiun
Cowakan Semar
Kecepatan arus berkurang seiring dengan
penambahan kedalaman suatu perairan (Raina,2010). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Odum (1996) bahwa
kecepatan arus di sungai tergantung pada
kemiringan, kekasaran, kedalaman dan kelebaran dasar perairan.
4.2.9.
Substart dasar
Forman dan Gordon (1983) (dalam Putra, 2013) menyebutkan
bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering mencerminkan batuan dasar yang
keras. Jarang ditemukan bagian yang rata, kadangkala bentuknya bergelombang,
landai atau dari bentuk keduanya; sering terendapkan matrial yang terbawa oleh
aliran sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi
oleh batuan dasarnya. Dasarsungai dari hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan
tinggi (elevasi), dan pada jarak tertentu atau keseluruhan sering disebut
dengan istilah “gradien sungai” yang memberikan gambaran berapa presen rataan
kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai gradien
berpengaruh besar terhadap laju aliran air.
Substrat dasar adalah kondisi dasar dari perairan
yang menjadi tempat tinggal bagi benthos dan menjadi kisaran toleransi bagi
beberapa makhluk hidup. Setiap ekosistem tergantung dan dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor tempat, waktu dan masing-masing membentuk basis-basis perbedaan
diantara ekosistem itu sendiri sebagai pencerminan sifat-sifat yang khas (Odum,
1996). Substrat dasar termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan organisme.
Substrat ini merupakan bagian dasar perairan yang terdiri dari batuan besar,
kerikil lumpur, tanah liat berpasir (Hawkins, 1979).
Tipe substrat yang ada pada
Sungai Cowakan Semar dan Sungai Kejajar berturut-turut adalah lumpur, pasir dan
berpasir,kerikil, batu. Substrat
dasar berupa batu besar, kerikil biasanya banyak ditemukan didaerah hulu yang
ditempati oleh banyak organisme. Hal ini disebabkan oleh bentuk topografi dari
sungai tersebut, dimana arus deras biasanya membawa endapan-endapan pada dasar
sungai. Sedangkan substrat dasar yang berupa lumpur, tanah liat berpasir
biasanya ditemukan didaerah hilir yang ditempati oleh sedikit organisme
(Hawkins, 1979).
4.2.10.
Konduktivitas dan Salinitas
Konduktivitas air bergantung pada jumlah ion-ion
terlarut per volumenya dan mobilitas ion-ion tersebut. Satuannya adalah
(μmho/cm, 250C). Konduktivitas bertambah dengan jumlah yang sama
dengan bertambahnya salinitas. Secara umum, faktor yang lebih dominan dalam
perubahan konduktivitas air adalah temperatur. Untuk mengukur konduktivitas
digunakan konduktivitimeter.
Salinitas air sungai, di bagian hulu dan tengah
hampir jarang dipengaruhi oleh salinitas, berbeda dengan di daerah hilir.
Tingginya salinitas air sungai di daerah hilir, disebabkan oleh pengaruh pasang
surut air laut. Namun demikian Lebeck (1939), menyatakan bahwa salinitas air
baik di bagian hulu, tengah dan hilir selain dipengaruhi oleh pengaruh air
laut, juga dipengaruhi oleh kandungan unsur hara yang bersifat basa. Salinitas
akan mempengaruhi penyebaran organisme baik secara horisontal maupun secara
vertikal (Odum, 1971); Zahidin (2008). Salinitas juga akan mempengaruhi
penyebaran plankton, hewan makrobenthos dan organisme perairan lainnya.
Penurunan salinitas dapat menentukan distribusi dari invertebrata perairan.
4.2.11.
Skor
Fisik Habitat
Menurut barbour and
stribling (1991) substrat dasar optimal lebih dari 80% dasar perairan terdiri
atas kerikil, batu atau cadas. Sedangkan didaerah hilir antara Lumpur dan
pasir, berarti daerah tersebut poor.
Pada stasiun Kejajar dan stasiun Cowakan Semar berturut-turut adalah
65 dan 50. Berdasarkan angka yan berbeda
pada kedua stasiun tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa ekositem yang berada
di stasiun Kejajar lebih baik dari pada di stasiun Cowakan Semar.
Skor
fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan habitat
sungai tertentu. Dari nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana kondisi
pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan tersebut dalam keadaan Sub optimal,
optimal, marginal atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup didalamnya maupun
yang ada disekitar sungai tersebut. Untuk dapat mendeskripsikan berapa skor
fisik habitat dari suatu ekosistem dapat menggunakan tabel Barbour dan
Stribling tahun 1991.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
1. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kondisi fisik sungai Banjaran diantaranya adalah Oksigen BOD,
konduktivitas, temperatur, pH, kecepatan arus, kejernihan, lebar sungai,
kedalaman, substrat dasar, konduktivitas dan salinitas.
2. Pola perubahan dari hulu ke hilir sungai
mengalami perubahan yang bervariasi sesuai dengan keadaan topografi dari sungai
tersebut.
3. Pola
longitudinal adalah pola memanjang dari hilir ke hulu untuk mengetahuifaktor
fisika kimia suatu lingkungan perairan
5.2.
Saran
·
Kesadaran untuk menjaga
ekosistem perairan khususnya pada Daerah Aliran Sungai sangat penting, karena
dapat berpengaruh dengan biota perairan yang mana sebagai bioindikator
kualitas air.
·
Karena fisikokomia salah satu
pengaruh biota perairan, maka lebih baik mengurangi penggunaan atau menekan masuknya
bahan-bahan yang berhubungan dengan sifat fisikokimia pada perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Armita,Dewi.2011. Analisis Perbandingan Kualitas
Air Di Daerah Budidaya Rumput Laut Dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput
Laut, Di Dusun Malelaya, Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten
Takalar. Skipsi. Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan.Universitas Hasanudin Semarang.Makasar
Barus, 2002. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia,
Jakarta.
Cahyana,Chevy.2006.
Implementasi Model Sebaran Temperatur Di Semenanjung Muria. Jurnal Hasil
Penelitian Pusat Teknologi Limbah Radioaktif.
Ewusie, J.K. 1990. Pengantar
Ekologi Tropika (terjemahan). ITB Bandung: Bandung
Hawkins, H.A.1979. Invertebrates an
Indikator Of River Water Quality. In James, A. And L. Erison, ED. Biology
Indikator Of Water Quality. Jon Willey Sons. Toronto.
Johan, TI., Edirmawan. 2011. Dampak Penambangan Emas Terhadap Kualitas
Air Sungai Singing Di Kabupaten Kuantan Singing Provinsi Riau. Jurnal
Lingkungan. 5 (2)
Kottelat, M., Whitten, J. A., Wirjoatmodjo, S. & Kartikasari, S. N.
1996. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi.Jakarta:
Periplus Edition. Ltd.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta.
Odum,
E.P.1996. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Thahmosamingan.
Yogyakarta: Gadjah Mada Press
Putra,H K.2013.Ekologi Perairan Tropis Sungai.Makalah.Fakultas
Perikanan dan Kelautan.Universitas Diponegoro.Semarang
Salmin.2005. Oksigen Terlarut
(Do) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (Bod) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk
Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal Oseana, Volume XXX, Nomor 3,
2005 : 21 – 26
Siahaan.Ratna dkk.2011.Kualitas Air Sungai Cisadane. Jurnal Institut
Pertanian Bogor
Simanjuntak, Marojahan.2007.
Oksigen Terlarut dan Apparent Oxygen Utilization
di Perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Jurnal . Vol.
12 (2) : 59 – 66
Soemarno.2010.Ekosistem Sawah.PSIP-PSUB